Agar Guru tidak Menjadi Ruwet
BEBAN profesional guru menyiratkan perlunya usaha peningkatan kapasitas dan kompetensi guru, termasuk pengembangan kompetensi pedagogis, kepribadian, dan sosial siswa. Ada banyak kekhawatiran tentang guru jika dilihat dari aspek ruang lingkup tugas, profesionalisme, dan upaya pemerintah dalam melakukan usaha peningkatan kapasitas dan kompetensi guru.
Kekhawatiran itu menyangkut pola peningkatan kapasitas guru yang belum sepenuhnya baik, ditambah lagi dengan pola evaluasi terhadap kinerja guru yang cenderung monoton dan minim kreativitas serta lebih fokus pada aspek evaluatif yang formal, rigid, dan administratif.
Ada pernyataan menarik dari Presiden Jokowi pada puncak peringatan Hari Guru, beberapa waktu lalu. Guru, menurut Jokowi, seyogianya harus lebih banyak berinteraksi dengan siswa daripada menghabiskan lebih banyak waktu untuk urusan laporan administratif yang serbaformal dan ruwet. Kata ‘ruwet’ tentu saja ditanggapi dengan sorak sorai para guru karena selama ini mereka lebih banyak dituntut menyelesaikan laporan oleh para pengawas dan dinas pendidikan ketimbang memerhatikan aspek kedekatan emosional dengan siswa. Menurut saya, perlu reorientasi tugas pengawas dalam memperkuat kedekatan guru dengan siswa.
Kompetensi pengawas
Dari segi jumlah, pengawas sekolah di RI relatif masih minim berbanding jumlah sekolah yang ada. Menurut pengakuan para pengawas, rata-rata dalam sepekan mereka harus berkeliling lebih dari delapan sekolah, dengan jarak tempuh antara satu sekolah dan lainnya sangat variatif dan cenderung jauh.
Selain itu, kemampuan pengawas dalam mengembangkan tugas sangat rigid, untuk tidak mengatakan terlalu text-book alias selalu merujuk pedoman dan juklak kepengawasan yang sangat membebani tugas guru yang seharusnya lebih banyak dengan siswa. Itulah mengapa para guru selalu sibuk dengan laporan formal yang bersifat administratif demi menghindari risiko penilaian guru yang buruk dari pengawas.
Sangat umum diketahui jika ada pengawas masuk dan berkunjung ke sebuah sekolah, biasanya para pengawas hanya duduk manis di ruang kepala sekolah dan memanggil para guru satu per satu atau berkelompok untuk diberi arahan. Saya hampir tak pernah menemui ada pengawas yang ketika datang ke sebuah sekolah langsung menuju kelas dan melakukan observasi kelas secara saksama.
Bahkan, dalam pengalaman saya selama mengajar, jarang sekali mendapati pengawas yang memiliki instrumen observasi kelas yang baik untuk mendeteksi efektivitas proses belajar mengajar. Hampir seluruh pengawas hanya memeriksa dokumen kurikulum yang harus ditulis para guru dan ini membuat guru tertekan dan ruwet dengan administrasi.
Agar pengawas tak menambah beban para guru, sebaiknya kompetensi para pengawas dikembangkan untuk bersama-sama kepala sekolah melakukan proses observasi kelas secara rutin setiap hari. Kepala sekolah bersama-sama para pengawas melatih diri merancang dan membuat instrumen observasi kelas yang bisa dilakukan guru dan siswa.
Ada banyak contoh instrumen observasi kelas yang bisa dijadikan sebagai standar penilaian guru kinerja guru secara teratur tanpa meminta para guru menulis lembarlembar laporan administratif yang cenderung ruwet dan tak pernah dibaca pengawas dan kepala sekolah. Misalnya, ada pertanyaan kecil dalam lembar observasi yang mencatat berapa kali guru tersenyum, mengatakan terima kasih, memuji siswa, dst.
Leadership guru
Guru bisa maksimal mengajar dan melakukan proses pendekatan yang intens dengan siswa apabila kita memahami sedini mungkin kemampuan leadership rata-rata guru, baik tingkat penguasaan instruksional materi maupun organisasi sekolah. Dalam hal penguasaan aspek instruksional, pemahaman guru tentang pengembangan kurikulum dapat dilihat melalui uji kompetensi guru dan atau program penilaian guru melalui jalur formal seperti dirancang pemerintah melalui sertifi kasi.
Jalur peningkatan kemampuan instruksional ini jika dirancang dengan panduan pola internship yang komprehensif dan melibatkan banyak pengawas sekolah yang kompeten diharapkan meningkatkan kapasitas leadership guru. Namun, untuk meningkatkan kemampuan organisasional dan manajerial sekolah secara khusus, guru perlu dibiasakan melakukan banyak peran membantu tugas-tugas kepala sekolah. Inilah salah satu makna penting dari proses penilaian guru terhadap kemampuan leadership guru (Spillane, Halverson, & Diamond: 2001).
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kemampuan leadership guru juga akan mempermudah upaya sekolah menggalang dukungan masyarakat. Guru yang memiliki leadership baik akan mampu berkomunikasi efi sien dengan masyarakat. Pada tahap ini perluasan kapasitas dan tanggung jawab guru memberikan ruang bagi mereka melakukan banyak inisiatif dalam bekerja atas nama sekolah. Profesionalisme jenis ini sekaligus akan meningkatkan citra sekolah dan kemampuan akademis siswa sekaligus (Talbert & McLaughlin, 1994).
Paling tidak ada tiga alasan dan kebutuhan mengapa proses penilaian guru jenis ini perlu dilakukan. Pertama menyangkut model manfaat keikutsertaan guru, seperti disinggung di atas, dengan meningkatnya peran dan fungsi kepala sekolah dalam sebuah manajemen sekolah, diperlukan banyak dukungan staf yang paham dan membantu tugas-tugas itu. Alangkah baiknya jika peran itu juga bisa diberikan kepada para guru untuk skala dan waktu tertentu. Pembiasaan model ini akan membuat guru lebih peduli dengan proses manajerial sekolah sekaligus meningkatkan pemahaman guru terhadap alur kebutuhan organisasi sekolah yang harus dikendalikan (Barth, 2001).
Kedua, sebagai akibat dari model penyertaan pertama, kemampuan dan keahlian guru tentang belajar-mengajar dengan sendirinya akan meningkat. Sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas, kemampuan berorganisasi guru melalui model-model peer-teaching, mentoring, serta kolaborasi antarguru akan serta-merta meningkatkan kemampuan guru dalam mengorganisasi bahan ajar dan proses pengajaran (Lieberman & Miller, 1999).
Ketiga, model penilaian kemampuan leadership guru juga pasti akan membawa dampak pada capaian akademis siswa. Artinya, jika praktik kepemimpinan berlangsung secara demokratis di sekolah, bentuk partisipasi guru diakui legalitasnya, serta komunikasi antara sekolah dan masyarakat berlangsung sangat intens, dan positif karena keterlibatan penuh para guru, dapat dipastikan itu berdampak positif dan baik terhadap capaian akademis dan perkembangan mental siswa.
Proses penilaian kemampuan leadership guru dapat membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan kompetensi guru, baik kompetensi pada aspek pedagogis, kepribadian, maupun sosial. Hanya, pertanyaannya, adakah kemungkinan kebijakan bagi pengembangan model penilaian guru jenis ini ke depan? Seperti kita ketahui, kelemahan mendasar proses peningkatan kapasitas dan kemampuan kompetensi guru selama ini lebih disebabkan tiadanya keseriusan kerja sama yang baik antara kepala sekolah, pengawas, guru, dan masyarakat. Guru selama ini hanya menjadi objek pelatihan dan program penilaian yang dikembangkan tanpa riset dan assessment tentang kebutuhan akademis guru itu sendiri.
Qaimah Umar, Guru SDN Harapan Baru IV Bekasi