Antidot Terorisme dan Peran Guru
TIDAK ada pengalaman yang lebih hebat daripada keberhasilan mengelabui kematian. Malala Yousafzai pernah mengalaminya. Pada 9 Oktober 2012, dalam perjalanan dengan bus menuju rumah setelah menempuh ujian di wilayah Swat, Pakistan, seorang laki-laki yang dipenuhi rasa kebencian menembak kepalanya. Peluru menembus leher dan berakhir di bahu Malala.
Kainat Riaz dan Shazia Ramzan, dua gadis rekan Malala, juga turut terluka. Malala harus diterbangkan ke sebuah rumah sakit militer di Peshawar sebelum dipindahkan ke rumah sakit lain di Rawalpindi, Pakistan, dan kemudian Queen Elizabeth Hospital di Birmingham, Inggris. Jiwa perempuan itu dapat diselamatkan, pulih, dan melanjutkan perjuangan.
Selanjutnya dunia tahu, Malala gadis muda yang memperjuangkan hak anak perempuan sejak ia berusia 11 tahun, menjadi representasi terbaik perlawanan terhadap teror Taliban. Lebih baik lagi; Malala ialah juga simbol perjuangan perempuan atas hak pendidikan mereka. Penghargaan Nobel Perdamaian 2014 yang dia terima bersama Kailash Satyarthi, aktivis hak anak dari India, menegaskan kepercayaan Malala bahwa pendidikan akan mampu mengalahkan fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Baginya, senapan bisa membunuh teroris, tetapi pendidikan akan mengatasi terorisme. Bagi Malala, pendidikan ialah kunci melawan terorisme. Mereka yang terdidik akan memiliki otonomi dalam bertindak dan menentukan pilihan dalam hidup mereka.
Namun, benarkah pendidikan ialah antidot dari terorisme? Pendidikan macam apa yang mampu menjadi jawaban atas menguatnya gelagat radikalisme dan berbagai aksi teror, yang belakangan semakin akrab menyapa ruang kesadaran dan membangkitkan rasa takut masyarakat?
Meskipun dipercaya bahwa pendidikan dapat menjadi faktor penting dalam pembentukan sikap dan perilaku sebuah generasi di masa depan, berbagai studi menunjukkan kaitan antara pendidikan dan radikalisasi bersifat ambivalen. Tak ada bukti yang dapat menjelaskan bahwa akses terhadap pendidikan mampu mengurangi risiko radikalisasi. Salah satu bukti pernyataan itu ialah para pelaku teror biasanya justru memiliki latar pendidikan yang tinggi (Macaluso: 2016).
Selain itu, pendidikan menjadi bidang garap kelompok-kelompok ekstremis dalam menyebarkan ideologi mereka. Kelompok-kelompok itu sadar sepenuhnya bahwa pendidikan ialah media penting dalam membangun nilai dan membentuk ideologi tertentu yang mereka percaya. Sekolah-sekolah yang berada dalam kontrol Taliban di Pakistan, misalnya, ialah tempat nilai dan ide-ide fundamentalisme dan ekstremisme dikembangkan. Itu sekaligus mencegah dan mengesampingkan nilai dan ideologi lain yang dianggap tidak sesuai dengan kepercayaan mereka (Mirahmadi dalam Ghosh et al: 2016).
Di Indonesia, peran dunia pendidikan sebagai benteng fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme juga penuh tantangan. Penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) antara Oktober 2010 dan Januari 2011 terhadap lebih dari 2.000 guru pendidikan agama Islam (PAI) dan siswa di wilayah Jabodetabek, misalnya, menunjukkan tingkat persetujuan terhadap pengeboman yang dilakukan pelaku tindak terorisme sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat mencapai angka 7,5% di kalangan guru dan 14,2% di kalangan siswa. Dalam konteks isu lokal seperti penyegelan atau perusakan tempat ibadah, tingkat persetujuan di kalangan guru mencapai angka 40,9%, sedangkan di kalangan siswa 52,9%. Dengan menimbang data-data tersebut, apa yang harus dilakukan untuk menjadikan pendidikan sebagai muasal upaya antiradikalisasi dan aksi terorisme?
Manajemen konflik berbasis sekolah
Optimisme terhadap pendidikan sebagai antidot fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme dapat dimulai dengan menempatkan pendidikan dalam jantung rencana antiradikalisasi. Proses pendidikan, alih-alih hanya sebagai upaya untuk mempromosikan seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan tertentu, harus mulai menjadi wahana berbagai nilai dapat dipertanyakan dan didiskusikan secara terbuka. Dalam konteks ini pendidikan menjadi proses pengembangan cara berpikir kritis, ajang yang mendorong pertukaran ide dan cara pandang yang berbeda secara aman.
Sekolah ialah tempat untuk menyemai ide-ide inklusif, penghargaan dan kemampuan untuk merespons perbedaan, serta penguatan terhadap nilai-nilai kebangsaan dan toleransi, terutama sejak tingkat dasar. Sekolah bukan sebagai tempat untuk memupuk stigma, kecurigaan, atau membangun ketakutan atas mereka yang berbeda.
Sekolah ialah juga laboratorium, tempat para murid bereksperimen dengan perbedaan, berlatih empati, menguji interaksi dengan sejawat dan otoritas sekolah. Dengan demikian, sekolah harus mampu melatih dan menghadirkan pengalaman hidup bermasyarakat yang lebih kompleks, sekaligus membekali murid dengan berbagai keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang relevan.
Hal itu antara lain dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep pendidikan perdamaian yang diwujudkan dalam manajemen konflik berbasis sekolah yang meliputi menyusun kurikulum perdamaian, membangun sekolah yang damai, kelas yang damai, dan mengasah kemampuan mediasi sejawat.
Kurikulum perdamaian adalah sebuah pendekatan dalam pendidikan resolusi konflik yang mengajarkan kemampuan dasar, prinsip, dan proses pemecahan masalah yang mengutamakan penerapan prinsip nirkekerasan. Kurikulum perdamaian dibedakan dengan kurikulum akademik dan dapat diterapkan melalui berbagai kegiatan di sekolah.
Sekolah yang damai ditandai penggunaan prinsip resolusi konflik nirkekerasan sebagai sistem operasi sekolah. Hal itu hanya dapat berjalan dengan baik dengan dukungan kelas yang damai, yaitu kelas yang dikelola dengan prinsip-prinsip, kemampuan, praktik, dan proses penyelesaian konflik tanpa kekerasan.
Dalam kelas yang damai, guru mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik dalam suasana dan kegiatan kelas. Siswa melalui kegiatan kelas, dilatih memecahkan masalah, menyelesaikan konflik antarsiswa dan belajar melalui metode belajar bersama dan diskusi ilmiah.
Guru, dengan kata lain, menciptakan suasana yang memungkinkan siswa mengembangkan prilaku sosial yang positif, bekerja sama, komunikasi yang efektif, pengungkapan emosi dan perasaan, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik.
Sementara itu, mediasi sejawat atau peer mediation ialah bagian dari penerapan mediasi di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, baik yang terlibat konflik maupun penengah atau mediatornya ialah siswa (Panggabean: 2008).
Praktik manajemen konflik berbasis sekolah sebaiknya dilakukan sejak tingkat pendidikan dasar. Dasarnya, menimbang pada masa ini sikap, perilaku dan identitas mulai dibentuk. Masa pendidikan dasar adalah juga masa keterlibatan orangtua dengan sekolah lebih intensif jika dibandingkan dengan masa setelahnya.
Karena itu, hubungan antara sekolah, orangtua, dan masyarakat menjadi kunci yang memengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku anak. Catatan penting lainnya ialah untuk menjadikan sekolah/pendidikan sebagai benteng fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, diperlukan komitmen dan investasi yang cerdas bagi pengembangan kapasitas dan kualitas guru.
Sebagai garda depan pendidikan, guru dituntut utuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memahami berbagai persoalan dunia yang makin kompleks, berubah cepat, dan penuh kejutan. Tanpa kemampuan itu, pendidikan dan sekolah tidak akan pernah menjadi antidot paham dan aksi terorisme.
Victor Yasadhana, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma