Guru dan Resiliensi Pendidikan
PENGGUNA Google atau khususnya pengguna Facebook tentu mengenal siapa Sheryl Sandberg, Facebook Chief Operating Officer. Namun, tidak semua orang tahu kehidupan terjal dan pengalaman pahit yang dialaminya, serta bagaimana ia merespons semua tantangan hidup, yang akhirnya menghantarkannya menjadi salah satu orang terpenting di Facebook. Pengalaman hidup dan sikapnya diungkapkan dalam sambutannya pada wisuda almamaternya, University of California, Berkeley, pada suatu pagi, 14 Mei 2016.
Sandberg menyatakan beberapa pesan yang menarik, “I was swallowed up in the deep fog of grief…. That gratitude overtook some of the grief. Finding gratitude and appreciation is a key to resilience. Class of 2016, as you leave Berkeley, build resilience. Build resilience in yourselves… Build resilient organizations…. Build resilient communities. We fi nd our humanity…” (Los Angeles Times, 14 Mei 2016).
Dari penyataan Sandberg di atas, gratitude—atau ‘syukur’ dalam bahasa agama Islam— dan resilience—bagian dari makna ‘sabar’ —ialah dua hal yang mengantarkan Sandberg pada posisi kariernya saat ini. Membangun resilience pada seseorang dan masyarakat bagi pendidik penting dikaitkan dengan tugasnya, antara lain, mengembangkan seluruh potensi peserta didik untuk menghadapi kehidupan masa depan, era global, yang penuh tantangan.
Resilience
Resilience berasal dari bahasa Latin, yaitu resilire, yang secara harafiah berarti kemampuan adaptasi dengan keadaan berbeda. Dalam dunia ilmu pengetahuan, kata ini pertama kali digunakan dalam studi ilmu alam. Resilience merujuk pada kemampuan material atau benda untuk kembali ke keadaan awal setelah mengalami geliat atau mendapat terpaan (Pemberton, 2015:1; Golden; Brook, 2005: 8; Winstone. 2017: 41). Selanjutnya, kata itu digunakan dalam berbagai disiplin ilmu atau area kajian seperti metalurgi, teknik, psikologi organisasi, manajemen (Bhamra, 2016), pendidikan, psikologi sosial (Morales; Trotman, 2011) dan lainnya.
Resilience ialah kemampuan seseorang tetap fl eksibel dalam pemikiran, perasaan, dan sikap ketika dihadapkan pada kesulitan dalam kehidupan atau tekanan yang bertubi-tubi (contohnya, musibah). Kemampuan itu membuat seseorang bisa keluar dari kesulitan dengan tegar atau kukuh), lebih bijak dan lebih mampu menghadapi kesulitan yang dihadapi selanjutnya. Resilience ialah kemampuan yang diperoleh seseorang melalui proses belajar dari pengalaman kehidupan yang pahit yang membuat seseorang menjadi percaya diri dan berkemampuan dalam menangani dan mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan (Pamberton, 2015:3 dan 8).
Dalam kajian pendidikan, dua hal yang saling berkaitan, resilience akademik dan resilience pendidikan. Resilience akademik menunjuk kepada proses dan outcome dari peserta didik yang mengalami risiko atau kesulitan dan berhasil meraih prestasi akademik. Dalam riset resilience, istilah ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana peserta didik mengatasi dan membebaskan stressor sehingga ia dapat meraih prestasi akademik seperti peserta didik lainnya (Morales; Trotman, 2011:3).
Resilience pendidikan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencapaian akademik anak-anak dari kelompok yang menghadapi ketidakberuntungan seperti kemiskinan atau tersisihkan (minoritas). Kedua, kemampuan sosioe m o s i o n a l dan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran yang berkaitan dengan sikap akademik yang positif, motivasi belajar dan berprestasi, merasa nyaman atau senang dalam kelas/proses belajar, kemampuan sosial dan komunikasi yang digunakan untuk membangun relasi efektif dengan teman sejawat dan senior (Cefal, 2008: 26). Ketiga, minimalisasi faktor-faktor yang mengganggu keberhasilan pendidikan (pembelajaran) (Kinchin; Winston, 2017).
Urgensi resilience
Urgensi resilience dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain, pertama, kehidupan ini tidak lepas dari cobaan dan tidak seorang pun dapat imun dari hal tersebut. Resilience seseorang akan diuji sampai akhir hayat (Pamberton, 2015). Kedua, kehidupan sangat dinamis dan kemajuan ilmu pengetahuan telah melahirkan kemajuan umat manusia pada satu sisi dan pada sisi lain melahirkan tantangan yang bisa menimbulkan ketegangan (Maddi; Khoshaba, 2005). Ketiga, resilience bisa memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam menghadapi kesulitan yang dihadapi dalam perjalanan hidup menuju kedewasaan seseorang (Goldstein; Brooks, 2005: 4).
Keempat, sekolah merupakan salah satu institusi masyarakat yang berfungsi mengembangkan potensi anak (peserta didik). Sekolah yang sehat memiliki kemampuan memberi bekal yang diperlukan untuk membangun resilience pribadi seperti perhatian, saling mendukung, menciptakan lingkung an yang mendorong peserta didik berprestasi, memberikan kesempatan kepada peserta didik berpartisipasi dalam proses belajar dan menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran (Jennifer et al, 2004: 328). Sekolah memberikan lingkungan yang melindungi anak-anak dari kelompok rentan (miskin) agar meraih prestasi akademik (Cefai, 2008:25), sekaligus juga melakukan perubahan—dalam konteks perbaikan pengajaran—dan pengembangan praktik pedagogik.
Dengan kata lain, ada dua tujuan dari pengembangan resilience pendidikan, yaitu pendidikan bermutu bagi anak-anak dari kelompok rentan (seperti ekonomi dan minoritas) dan membangun inklusi di kalangan peserta didik (Morales; Trotman, 2011:7; Winstone, 2017:39).
Pengembangan resilience indidvidu dan masyarakat akhirnya bermuara pada kerangka pemikiran mewujudkan kesejahteraan. Bagaimana menanamkan sikap dan skill yang dibutuhkan peserta didik dalam menghadapi tantangan keseharian merupakan upaya persiapan bagi seseorang/peserta didik menghadapi kesulitan atau cobaan yang tidak bisa dihindarkan lagi pada masa mendatang (Neenan, 2008: 17). Yang perlu diperhatikan ialah semua keberhasilan upaya mengembangkan resi lience di kalangan peserta didik memerlukan keterlibatan seluruh komunitas sekolah (community school-based approach). Wallaahu ‘alam.
Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma | MI, 29 Januari 2018