Guru sebagai Orang Tua Kedua
Sekolah adalah rumah kedua bagi siswa. Kalimat ini tentunya sangat tidak asing bagi kita. Sebuah rumah akan terlihat sempurna jika ditempati oleh keluarga yang utuh, begitu juga dengan sekolah, tempat di mana guru menjadi orang tua kedua bagi siswa. Tidak hanya berperan sebagai orang tua, adakalanya guru harus memposisikan diri sebagai teman bagi siswa.
Berbagai macam karakter siswa yang harus dipahami oleh guru, begitu banyak cerita yang harus didengarkan sehingga terbangun relasi yang baik antara guru dengan siswa, meski di saat yang bersamaan banyak tugas dan administrasi pembelajaran yang harus diselesaikan. Semangat menjadi guru bukan saja hasil pendidikan di perguruan tinggi yang meluluskan calon guru. Namun, semangat yang luar biasa adalah hasil proses panjang di tempat guru mengajar.
Sebuah kesalahan besar jika di antara kita masih ada yang beranggapan bahwa tugas guru hanya mentransfer ilmu, membimbing untuk memiliki pengetahuan yang luas atau menjadikan siswa sebagai peraih nilai tertinggi di saat ujian. Sejatinya tugas dan tujuan guru sama seperti orang tua di rumah yaitu mendidik, membimbing serta membina anak didiknya agar terbentuk karakter yang baik demi mendapatkan kebahagian dalam hidup serta menggapai tujuan hidup.
Guru yang dicintai oleh siswa adalah guru yang bisa memberikan kasih sayang, teladan baik, dan rasa nyaman kepada siswa. Tidak semua guru bisa melakukan peran ini dengan baik. Oleh karena itu, ketika seseorang telah memilih profesi sebagai guru, maka semestinya dibarengi juga dengan kesadaran bahwa akan siap dan bisa menjadi orang tua kedua bagi anak didiknya. Kesadaran ini sangat penting agar secara psikologis seorang guru mempunyai ikatan batin dengan siswanya. Sungguh, hanya dengan ikatan batin yang kuat seorang guru bisa menjadi orang tua kedua bagi siswanya. Hal ini bisa diwujudkan oleh semua guru dengan membangun rasa kasih sayang, memberikan yang terbaik serta mendampingi dengan sepenuh hati.
Rasa kasih sayang yang perlu dibangun adalah rasa kasih sayang sebagaimana orang tua kepada anaknya. Karena guru bukanlah orang tua kandung maka tentunya rasa kasih sayang yang diberikan akan sedikit berbeda dengan yang diberikan oleh orang tua kandungnya, terutama kaitannya dengan kedekatan secara fisik karena pertimbangan nilai dan etika yang semestinya berlaku. Namun, meskipun ekspresi dan bentuknya berbeda, rasa kasih dan sayang yang bersumber dari dalam hati tetaplah perlu dibangun dengan sebaik-baiknya oleh seorang guru yang ingin dicintai oleh anak didiknya.
Sebagai orang tua kedua, guru harus membangun kesadarannya untuk bisa memberikan yang terbaik kepada siswanya dengan semangat mendidik siswa sama dengan mendidik anaknya sendiri. Meski bukan orang tua kandung guru dapat membangun kepedulian yang kuat dalam hatinya untuk selalu mendampingi siswanya dengan sepenuh hati. Kesadaran untuk bisa mendampingi sepenuh hati tidak akan datang secara tiba-tiba. Perlu dibangun dan dibina dengan rasa simpati dan empati terhadap siswa.
Keberadaan guru dianggap sebagai sesuatu yang lebih, dan sikap guru sering menjadi acuan bagi siswanya, karena itu sebagai guru yang baik haruslah selalu memberi contoh yang mencerminkan kepribadian yang patut untuk diteladani. (RY)