Literasi Politik di Zaman Hoaks
DALAM sejarah Republik, kita belum pernah menyaksikan banjir ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah semasif saat ini. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seakan tidak berdaya menghadangnya.
Memasuki tahun politik, fenomena ini semakin menjadi-jadi. Bagi mereka yang aktif di media sosial, dari waktu ke waktu, pasti disibukkan dengan ‘keharusan’ membaca fitnah yang dikirim secara berantai yang dapat menimbulkan ‘fitnah berjemaah’. Menariknya, hal itu dapat terjadi pada mereka yang berpendidikan tinggi, mengaku taat beribadah dan cinta NKRI.
Hidup di zaman disrupsi sangatlah tidak mudah. Ledakan informasi tentang dinamika politik lokal, nasional, regional, maupun internasional dengan mudah memasuki ruang-ruang privat. Fenomena yang bisa dianggap sebagai pendemokrasian pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi siapa pun, untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi secara lebih produktif untuk pendidikan politik.
Namun, pada kenyatannya, pendidikan politik malah berubah menjadi propaganda politik negatif sarat distorsi. Literasi politik yang merupakan aspek penting dalam konsolidasi demokrasi kini menjadi bermasalah.
Literasi politik
Kurangnya pemahaman tentang isu-isu politik dan kegiatan politik, tidak jarang menyebabkan masyarakat apatis terhadap berbagai proses demokrasi dan dinamika politik pemerintahan di sekitarnya. Literasi politik dipahami sebagai pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan bahasa, merupakan upaya memahami seputar isu politik, keyakinan para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka memengaruhi diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain, literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai politik (Bakti, dkk: 2012).
Dalam konteks pemilu, literasi politik dipahami sebagai kemampuan warga untuk mendefinisikan kebutuhan mereka akan substansi politik, terutama yang menyangkut pemilu. Tingginya kesadaran politik biasanya akan diikuti dengan kegiatan untuk mengorganisasikan, membentuk jejaring pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan.
Literasi politik berkait erat dengan pemahaman kritis warga atas hal-hal pokok terkait dengan politik, menyangkut pemahaman masyarakat mengenai politik itu sendiri, dan aspek aspek yang berhubungan dengan konsep negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan umum, pembagian, dan alokasi yang merupakan hal pokok yang harus dipahami oleh warga untuk berpartisipasi aktif dalam politik (Bakti, dkk: 2012). Rendahnya pemahaman kritis warga negara terhadap isu-isu politik kontemporer tidak jarang diikuti oleh menurunnya partisipasi publik dalam proses-proses demokrasi.
Pelaksanaan pendidikan politik sangat ditentukan oleh interaksi pengalaman dan kepribadian seseorang, lingkungan sosial, kultur, serta keadaan ekonomi di mana mereka tinggal. Pandangan dan juga tingkah laku politik seseorang akan berkembang secara berangsur-angsur. Namun, tidak sedikit orang yang apatis terhadap politik, selain karena upaya sosialisasi yang salah, juga karena melihat realitas politik yang sangat tidak memenuhi ekspektasi.
Peran media
Media massa dan media sosial (medsos) kini semakin sering digunakan sebagai alat untuk memersuasi pemilih. Pengalaman negara-negara Barat, pers telah menjadi kekuatan besar, bahkan dalam beberapa hal terasa lebih kuat dari legislatif, eksekutif, dan peradilan. Peningkatan jangkauan global, kecepatan, dan kapasitas untuk mengirimkan pesan mengikuti kemajuan luar biasa dalam teknologi komunikasi. Ketersediaan peralatan satelit portabel memungkinkan liputan instan dari mana saja.
‘Kekerasan’ ialah ‘baik untuk bisnis media’, menyajikan peristiwa dramatis, kejadian berbahaya, tak terduga, penuh emosi, dan kekerasan menjadi perhatian rutin media. Konsekuensi dari liputan media tentang ‘kekerasan politik’ dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi keprihatinan bahwa media telah meningkatkan kemampuannya dalam memengaruhi pembuatan kebijakan negara.
Namun, klaim bahwa kebijakan politik sekarang dibuat sebagai tanggapan terhadap ‘impuls dan gambar’ kemungkinan besar tidak akurat. Ada atau tidak adanya perhatian media bukanlah variabel kunci dalam menentukan pengaruh media. Di sisi kebijakan, hanya pada saat-saat terjadi kepanikan kebijakan, maka media berita dapat memiliki pengaruh. Di sisi media, ketika membingkai laporan dengan cara kritis dari kebijakan resmi pemerintah, dan dengan cara empati terhadap korban yang menderita dari konflik tertentu, media berpotensi dapat memberikan pengaruh pada pembuatan kebijakan. Ketika media tidak dapat melaksanakan fungsi pendidikan politik secara baik, peran pendikan di sekolah semakin penting.
Sekolah politik
Sekolah ialah institusi strategis yang dapat melakukan pendidikan politik warga negara. Sekolah diharapkan dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang dapat memungkinkan terwujudnya masyarakat demokratis dan berkeadaban. Biasanya ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu pendidikan kewarganegaraan (civic) dan model big issues.
Bila pendidikan kewarganegaraan menekankan literasi politik sebagai produk, dengan melakukan transmisi pengetahuan politik faktual menggunakan metode pembelajaran didaktik, model kedua menekan pendidikan literasi politik sebagai proses. Model big issues dilakukan dengan memperkenalkan anak dengan isu-isu politik penting melalui berbagai diskusi dan debat-debat politik. Sudah barang tentu keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (Davies & Hogarth: 2004).
Di antara kelemahan yang menonjol dari kedua pendekatan ini, misalnya, meskipun para guru mungkin ingin menggunakan isu-isu kontroversial sebagai studi kasus untuk mengembangkan pemahaman yang lebih luas, transfer yang diharapkan tidak muncul secara eksplisit dan sering tidak terjadi. Siswa pada akhirnya seperti dibiarkan memiliki pengetahuan mendalam tentang satu masalah tertentu yang dipilihnya sendiri.
Oleh karena masalah-masalah tersebut pada umumnya dipilih oleh media dan bukan oleh pendidik, siswa tidak dapat memperoleh pengenalan yang sistematis terhadap ide-ide politik sebagaimana yang diharapkan.
Pendekatan alternatif yang disarankan oleh Davies dan Hogarth (2004) ialah model ‘wacana publik’ (public discourse). Model ini berusaha memasukkan siswa ke dalam bahasa, konsep, bentuk-bentuk argumen, dan keterampilan yang diperlukan untuk berpikir dan berbicara tentang kehidupan dari sudut pandang politik, menekankan baik proses maupun produk. Pengetahuan faktual memang penting, tetapi tetap harus terkait dengan aspek-aspek lain yang penting secara sentral bagi literasi politik siswa.
Oleh karenanya, pengembangan kurikulum sekolah hendaknya dilakukan dengan mengidentifikasi konsep-konsep kunci yang menyusun pemikiran tentang bidang-bidang tertentu dalam kehidupan sosial-politik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tekad untuk membuat siswa terlibat dalam perdebatan aktif dalam isu-isu politik umumnya dianggap sangat tepat untuk pengembangan konsep-konsep penting, seperti demokrasi dan autokrasi, kerja sama dan konflik, kesetaraan dan keragaman. Sekolah dapat menjadi laboratorium untuk mempraktikkan nilai-nilai demokrasi sejak dini. Memang, sekolah yang memodelkan praktik demokrasi paling efektif dalam mengembangkan pengetahuan dan keterlibatan politik sipil.
Penulis: Khoiruddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Pada: Senin, 26 Nov 2018, 03:45 WIB