Melihat Peninggalan Sejarah di Museum Islam Samudra Pasai
Sumber belajar tidak selalu harus mengutamakan guru dan buku. SD Sukma Bangsa Lhokseumawe memboyong siswa kelas IV Hazrat Sultan, IV Hagia Sophia, dan IV Tokyo Camii untuk belajar di Museum Islam Samudra Pasai. Program belajar di luar sekolah itu bernama school visit. Siswa mengunjungi suatu tempat secara langsung untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baru.
School visit dilakukan pada Selasa, 18 Mei 2024. Dengan menaiki 3 bus, seluruh siswa tiba di tujuan. Tidak sekadar seru-seruan, tentunya perjalanan ini membawa siswa untuk belajar dan melihat langsung hasil peninggalan Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Pada pelajaran IPS, siswa akan belajar tentang museum dan peninggalan bersejarah di masa Kerajaan Samudra Pasai. Pada pelajaran PAI, siswa akan belajar tulisan kaligrafi yg pernah dipakai selama masa kerajaan Samudra Pasai, sedangkan pada pelajaran Bahasa Indonesia, siswa akan memperoleh informasi dari teks nonfiksi yang dibaca atau diceritakan oleh pemandu di museum.
Siswa mendengarkan pemaparan kisah kejayaan Islam di Aceh dari kakak-kakak pemandu. Mereka menyimak dengan saksama sambil menganggukkan kepala. Ternyata relasi Aceh sangat luas di zaman dahulu. Sambil mendengarkan cerita seru, sesekali mereka melirik-lirik ke kanan dan ke kiri. Ada banyak Sultan yang memerintah pada masa Kerajaan Samudra Pasai.
Tidak hanya mengetahui kisah sultan, malik, dan malikah, tetapi siswa juga diperlihatkan replika batu nisan, alat perhiasan, nilai tukar uang dengan emas dan perak, keramik Cina, hingga baju, juga alat-alat yang digunakan ketika adat pernikahan Aceh.
Tiba-tiba, kebanyakan mulut siswa menganga. Mereka sangat terkejut ketika kakak pemandu menjelaskan bahwa Aceh pada zaman dahulu memiliki mata uang sendiri, yaitu deureuham. Sesekali terdengar bisikan siswa yang mengatakan bahwa bangsa kita sudah mulai mengalami kemunduran. Tidak sengaja, kakak pemandu mendengar ucapan siswa laki-laki itu. Beliau pun meluruskan bahwa memang dulu, Aceh pernah gemilang di masanya. Sekarang, bukan berarti kita juga jatuh terpuruk. Zaman berkembang dan sekarang kita menggunakan nilai tukar rupiah dengan uang kertas dan uang koin logam. Diskusi pun menjadi terbuka. Siswa benar-benar diajak berpikir kritis sehingga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang baru.
Penulis: Nura Usrina, S.Pd. (Guru Bahasa Indonesia SD Sukma Bangsa Lhokseumawe)