Memahami Substansi Pendidikan Politik
TINGGAL sembilan hari lagi bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk memilih presiden, wakil presiden, dan wakil-wakil rakyat untuk pusat (DPR), provinsi, serta kabupaten/kota (DPR provinsi dan DPR kabupaten/kota) untuk periode 2019-2024.
Setiap partai politik telah unjuk diri dan melakukan berbagai jurus meraih dukungan masyarakat untuk yang dijagokannya selama masa kampanye.
Sayangnya, terkadang tiap-tiap kubu terlibat dalam perdebatan tentang hal-hal yang tidak substantif atau tidak mencerminkan akhlak yang baik dalam berpolitik, seperti hoaks dan hate speech. Hal itu membawa kita untuk menyoal kembali apakah yang dimaksud sebagai pendidikan politik secara substantif.
Pendidikan politik
Pemahaman dan manifestasi pendidikan politik akan sangat dipengaruhi cara pandang seseorang atau kelompok tentang politik. Dalam realitas, pemahaman dan realitas pendidikan politik sering dibatasi dengan pemahaman tunggal, yaitu formal politik. Misalnya, politik dipahami dengan kekuasaan, pemerintahan, negara, konstitusi, partai politik, dan pemilihan umum. Kesadaran politik warga bangsa diwujudkan dengan keterlibatan atau partisipasi mereka dalam pemilihan anggota wakil rakyat dan eksekutif.
Menurut Fraser (1999), pandangan orang tentang politik dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, politik identik dengan kekuasaan. Kelompok ini lebih menitikberatkan pada analisis kekuasaan atau sistem pemerintahan.
Pendidikan politik dipahami dalam pengertian pembelajaran demokrasi, yakni berkaitan dengan cara-cara yang absah (demokratis) untuk menyelematkan, menata, memengaruhi kekuasaan politik (political power), termasuk juga beroposisi dengan kekuasaan.
Kedua, politik ialah sirkulasi kekuasaan (politik) atau kekuatan ekonomi. Untuk mendapatkan kekuasaan (politik atau ekonomi), kita tidak dapat menghindar diri dari perebutan (kompetisi). Untuk itu, aturan main berpolitik perlu ditegakkan sehingga konflik yang muncul sebagai akibat kompetisi atau perebutan kekuasaan dapat dikelola dan menjadi kekuatan untuk membuat kehidupan dinamis.
Dalam sistem yang demokratis, terdapat beberapa cara atau media yang absah, seperti partai politik, kelompok penekan (terhadap) legislatif dan pemerintah, petisi, dan demonstrasi.
Ketiga, kelompok kritis mengusung pendapat bahwa politik ialah gerakan pembebasan individu dan masyarakat dari ketidakadilan sosial dan struktural. Kekuasaan yang ada dalam relasi interpersonal merupakan isu yang menurut norma keadilan perlu dikritisi dan menjadi dasar dari gerakan perubahan (revolusi dan reformasi).
Konsep dan misi
Pendidikan politik sering juga disebut pembelajaran politik (political learning) atau sosialisasi politik (political socialization) ialah proses pembentukan serta pengembangan sikap dan perilaku politik.
Pendidikan politik tidak dibatasi dalam pengertian formal politik, seperti keterlibatan dalam kampanye partai politik dan memberikan suara dalam pemilihan umum atau pilkada (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Orit: 2004).
Pendidikan politik memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan untuk memahami persoalan politik dalam pengertian yang luas, termasuk pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman nilai sosial politik yang dianut seseorang dan kelompok (komunitas).
Pendidikan politik menumbuhkan keterlibatan seseorang dalam diskusi politik dengan banyak orang; melakukan deliberasi tentang persoalan-persoalan kehidupan lainnya (luas). Pendidikan politik juga membuat seseorang mampu memberi pengaruh terhadap orang-orang tentang persoalan-persoalan politik (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Clarke: 2007; Davies: 2005).
Dari pengertian tersebut, ada tiga misi atau fungsi utama pendidikan politik. Pertama, pendidikan politik ialah revitalisasi pemahaman tentang politik. Pendidikan politik bukan mengajarkan peserta didik tentang berapa kursi di badan legislatif, melainkan memberi pemahaman atau kesadaran kepada publik bahwa fungsi-fungsi kekuasaan itu sebagai a constitutive force, bagaimana pembagian kekuasaan, pertarungan kekuasan, serta bagaimana kekuasaan dimanfaatkan wakil rakyat dan untuk siapa (Ruitenberg, na; Dumas dan Dumas: 1996; Davies: 2005).
Kedua, pendidikan politik ialah pendidikan emosi politik (educating political emotion). Dalam hal ini, emosi bukan dalam pegertian private domain, yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada konsepsi identitas diri. Namun, emosi dipahami dalam konteks tatanan sosial politik atau kolektif politik, yaitu pandangan terhadap hubungan sosial yang hegemonik.
Dari fungsi ini, pendidikan politik ialah menumbuhkan dan mengembangkan rasa solidaritas, komitmen terhadap kelompok masyarakat yang tidak berdaya (tertindas), dan (meningkatkan) kemampuan melawan ketidakadilan.
Ketiga, pendidikan politik ialah mengembangan melek politik atau kesadaran politik (political literacy). Melek politik mempunyai hubungan dengan keterampilan, isu dan aksi penerapan politik yang demokratis, serta pendidikan global, yaitu pembelajaran afektif dan pendekatan holistis tentang isu-isu dunia. Pendidikan kewargabangsaan yang berkaitan dengan kesukarelaan untuk berbuat sesuatu di masyarakat (Davies: 2005), kemampuan seseorang membaca landscape politik dalam konfigurasi pada era kini dan masa lalu (historisitas).
Dalam pembelajaran politik, peserta didik didorong (enabling) memahami tatanan sosial dan politik melalui, misalnya, deliberasi tentang kebebasan, persamaan, dan relasi sosial yang hegemonik.
Melek politik ialah kemampuan memahami konflik kepentingan dan cita-cita dari tiap-tiap kelompok. Sikap-sikap yang mencirikan melek politik dan demokrasi substantif, seperti menghargai kebebasan, persamaan, toleransi, menghargai keyakinan, dan pemikiran orang lain (Clarke, 2007).
Penting untuk selalu memahami pendidikan politik secara lebih substantif agar pesta demokrasi tidak sekadar menjadi ajang nan riuh dan hura-hura tak bermakna. Wallahualam.
Penulis: Fuad Fachruddin Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
Pada: Senin, 08 Apr 2019