
Membangun Kehebatan Berbicara Melalui Debat
Mengawali semester genap tahun pelajaran 2023-2024, siswa kelas X pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sedang mempelajarai materi Teks Debat. Materi ini merupakan materi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh siswa. Mengapa dinanti-nantikan? Karena sebagian besar siswa sudah dapat membayangkan akan melakukan kegiatan apa nantinya dalam materi tersebut. Sesuai namanya “Teks Debat” maka tujuan akhir materi ini tentunya mengharapkan siswa untuk mampu meningkatkan keterampilan berbicara melalui praktik debat.
Melihat pendalaman materi ini yang cukup teknis, saya mengundang guru tamu atau yang familiar disebut dengan program “guest teacher” di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe. Untuk kesempatan kali ini, saya memilih guru tamu yang merupakan siswa alumni Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe yang saat ini berstatus mahasiswa jurusan Kedokteran Universitas Malikussaleh, Muhammad Andre Naufal. Pemateri merupakan salah satu alumni yang pernah membawa nama harum sekolah dengan memenangkan Lomba Debat di Kota Lhokseumawe pada tahun 2021. Pada beberapa kesempatan pula pernah menjadi pelatih bagi adik-adik kelasnya dalam persiapan mengikuti lomba debat.
Membuka materinya di kelas X Vancouver pada Selasa, 23 Januari 2024, pukul 08.00 WIB, pemateri memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Beberapa energizer pun dilakukan untuk memecah rasa canggung dan malu di antara siswa. Setelah suasana kelas dirasa cukup kondusif, pemateri langsung menyampaikan materinya yang telah dipersiapkan dengan baik dan interaktif. Seketika perhatian seluruh siswa X Vancouver pun terfokus pada tayangan slide yang menampilkan wajah ketiga calon Presiden Republik Indonesia yang baru saja melaksanakan debat pada pemilu tahun ini. Pemilihan analogi ini membuat siswa paham akan arah pembelajaran materi Teks Debat dalam meningkatkan keterampilan berbicara di depan publik.
Untuk meningkatkan keterampilan berbicara di depan publik, pemateri juga menambahkan tips agar dapat berbicara dengan baik dalam sebuah forum debat. “Seorang pembicara setidaknya harus mampu menginspirasi, mempengaruhi, dan menyampaikan pesan dengan jelas kepada audiens”. Andre juga menambahkan penjelasan dengan menuliskan di papan tulis perihal pembagian peran dari tiap pembicara saat debat berlangsung. Sebuah debat, dilaksanakan dengan sistem kelompok yang terdiri atas tiga orang anggota. Tiap-tiap anggota nantinya berperan menjadi pembicara pertama, kedua, dan ketiga.

Semakin dalam pemateri menyampaikan materinya, semakin terlihat pula wajah yang penuh antusias dan penuh tanya dari para siswa. Beberapa yang masih bingung, juga saya pancing untuk berani bertanya agar tidak melewatkan kesempatan belajar yang langka ini. Pertanyaan pertama yang muncul dari siswa adalah, “Apa itu mosi?” Pertanyaan ini muncul usai siswa mendengar pemateri beberapa kali menyebut “Apabila dewan juri menyatakan mosi A, B, dan seterusnya”. Pertanyaan itu pun semakin mengupas lebih lanjut terkait bagaimana metode dan alur berbicara dalam debat itu sendiri.
Pemateri sangat baik dalam mempersiapkan materi yang hendak disampaikan kepada siswa. Contoh permasalahan yang diangkat pun merupakan masalah yang faktual dan aktual ‘yang sedang hangat-hangatnya’ diperbincangkan saat ini. Agar suasana pembelajaran tidak menegangkan, sekali lagi pemateri menyelipkan energizer agar suasana kembali penuh semangat. Permainan “zip zep zop” berhasil membuat siswa merasakan suasana pembelajaran yang begitu menyenangkan.
Selanjutnya, siswa diajarkan pada materi inti, yakni salah satu metode dalam debat yang cukup jitu dan familiar dilakukan. Metode ini disingkat dengan metode “AREL”. “AREL” merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris “Assertion, Reasoning, Evidence, dan Link back”. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti ‘judul/pernyataan umum, perumusan alasan, bukti pendukung, dan kesimpulan’. Agar semakin paham, siswa juga dilibatkan untuk mencoba menganalisis keberadaan poin-poin tersebut pada sebuah kasus yang diberikan.
Terakhir, materi yang telah dijelaskan satu per satu oleh pemateri kemudian dihubungkan menjadi sebuah implementasi dalam praktik debat. Sebagai latihan tahap awal, maka latihan yang dilakukan tentunya masih dalam lingkup yang sederhana. Pemateri menampilkan mosi, “Dewan ini akan melarang penggunaan transportasi ramah lingkungan”. Kemudian, pemateri mengajak siswa untuk memposisikan diri sebagai tim kontra, sedangkan pemateri sendiri adalah tim pro yang mendukung mosi di atas. Siswa ditugaskan untuk mendefinisikan mosi tersebut dan menguraikan argumen balasan atau tandingin yang pastinya berbalik dari sudut pandang pro. Sekitar 20 menit tiap siswa diberikan kesempatan untuk berpikir keras menuliskan hasil pemikirannya pada secarik kertas atau buku catatan.

Suasana belajar semakin aktif ketika pemateri mulai meminta siswa untuk mencoba mempresentasikan argumen kontranya. Rifanna, Apta, Irfan, dan Keyla mewakili teman-teman di kelasnya untuk mencoba mempresentasikan hasil pemikirannya. Argumen tandingan yang diutarakan oleh keempat siswa tersebut terlihat mulai terarah dan menggambarkan pemahaman siswa terkait materi yang telah disampaikan. Sebagai contoh untuk balasan argumen, “Kebiasaan masyarakat yang belum terbentuk dalam menggunakan transportasi ramah lingkungan”, Rifanna dkk. menjelaskan bahwa manusia akan selalu mengalami hambatan sebelum terbentuknya sebuah pembiasaan. “Misalnya saja dalam penggunaan handphone dan perangkat teknologi lainnya. Pasti mula-mula masyarakat merasa sulit karena belum terbentuknya sebuah kebiasaan,” tambah Apta.

Terakhir, menutup pertemuan sebagai guru tamu hari ini, Andre memberikan motivasi kepada siswa untuk semoga ke depannya dapat berkesempatan mengikuti forum-forum lomba debat, baik tingkat kota, provinsi, bahkan hingga nasional. “Semoga ada penerus dari adik-adik di SMA untuk bisa mewakili sekolah kita di perlombaan debat berikutnya.” Sebagai kenang-kenangan, tak lupa saya dan para siswa kelas X Vancouver mendokumentasi pengalaman belajar kami hari ini bersama guru tamu muda yang luar biasa. “Terima kasih sudah berbagi ilmu dan pengalamannya, Nak Andre,” ucap saya menutup kelas Bahasa Indonesia hari ini.

Penulis: Dewi Puspita Sari, S.Pd., Gr. (Guru Bahasa Indonesia SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe)