Membentuk Karakter Siswa Selama Pandemi
Tanpa terasa aktivitas belajar mengajar sudah kita lewati selama satu semester. Hal ini mungkin bias dari sekolah dalam masa pandemi—belajar dengan menggunakan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan waktu belajar yang lebih singkat. Aktivitas sekolah yang dulunya terasa panjang dan lama karena di dalamnya terdapat seribu satu cerita: bagaimana proses pembentukan karakter siswa tidak terjadi secara instan, tapi selalu ada proses—yang pada akhirnya proses itu menjadi satu kenangan tersendiri. Nah, dalam berproses itulah, melewati masa satu semester itu terasa panjang.
Semua itu tidak berlaku dalam semester ini yang hanya belajar menggunakan skema PJJ. Mungkin pilihan PJJ dalam masa pandemi seperti ini adalah pilihan terbaik. Hal ini dikarenakan PJJ membatasi jarak fisik antarwarga sekolah, sehingga penyebaran Covid-19 dapat diminimalisir dengan hal ini. Namun, karena skema PJJ seperti ini sudah berjalan satu semester, bukan serta-merta pembelajaran berjalan dengan baik. Munculnya kekhawatiran para stakeholder pendidikan kemudian mencuat terkait perkembangan pengetahuan (kognitif) dan sikap (afektif) para siswa.
Perlu kita akui bahwa ada banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang timbul akibat pelaksanaan PJJ. Salah satunya tentang pembentukan karakter siswa yang selama ini terus digaungkan dalam kurikulum pendidikan kita. Banyak muncul pertanyaan di benak para guru seperti bagaimana proses pembentukan sikap siswa untuk tumbuh dan dituntun ke arah yang lebih baik jika proses belajar hanya dengan metode PJJ. Hal ini menandakan adanya kekhawatiran atau mungkin gagalnya membangun kepercayaan orang tua siswa dalam memberikan pendidikan karakter atau sikap bagi para siswa dengan gaya PJJ ini.
Sejatinya, keluarga yang mengambil andil besar dalam pendidikan karakter. Hal ini karena siswa lebih banyak meluangkan waktunya dan berinteraksi bersama keluarga ketimbang di sekolah, apalagi pembelajaran dalam masa pandemi ini sudah menghabiskan waktu satu semester belajar di rumah. Maka sebuah keniscayaan bagi orang tua dan guru, dalam membangun karakter anak perlu adanya kerja sama antara orang tua dan guru, karena pendidikan di sekolah dan di rumah harus sinkron dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan orang tua dalam mendidik anak. Pertama, peranan orang tua dalam pendidikan anak yaitu mengajarkan anak pendidikan agama seperti mengajarkan anak untuk melakukan ibadah, mengajarkan anak membaca Alquran serta menuntun anak untuk mengikuti kegiatan yang positif.
Kedua, peranan orang tua dalam pendidikan anak yaitu mengajarkan anak pendidikan sosial seperti mengajarkan anak untuk bertingkah laku yang sopan, menyayangi sesama saudara, saling menyapa, hidup hemat, menjalin persahabatan yang baik kepada saudara dan orang lain, serta mengajarkan anak untuk bersikap adil.
Ketiga, peranan orang tua dalam pendidikan anak yaitu mengajarkan anak pendidikan akhlak seperti mengajarkan anak sifat jujur dan sabar (Efrianus, 2020). Supaya ketiga aspek ini menjadi kebiasaan hingga mengkristal menjadi kesatuan karakter yang utuh, orang tua harus bekerja sama dengan guru dalam hal mengenali, menindaklanjuti, hingga mencontohkan serta mempraktikkan.
Guru atau orang tua harus menjadi cerminan dan teladan yang baik bagi setiap siswa. Rancu rasanya, bila seorang guru menuntun karakter disiplin kepada siswa agar tidak datang terlambat, misalnya, tetapi guru itu sendiri sering telat datang ke sekolah. Jila seperti ini, jangan berharap siswa mau memperhatikan nasihat atau petuah dari guru yang bersangkutan, karena siswa telah kehilangan kepercayaan terhadap gurunya sendiri, bahkan mungkin figur pendidik yang harusnya melekat pada diri guru tersebut telah sirna di mata para siswa. Jadi, seorang guru atau orang tua adalah sosok yang mampu membangun kepercayaan siswa atau anaknya terhadap gurunya atau orang tuanya sendiri.
Tentunya, semua orang tua menginginkan anaknya menjadi pribadi yang berintelektualitas tinggi sekaligus memiliki perilaku yang baik dan menghormati orang lain. Prestasi akademis acap kali menjadi hal yang diutamakan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sukses dalam kehidupan itu tidak selalu bergantung pada kemampuan akademis, karenanya Rasul pernah bersabda, ”Manusia yang paling baik adalah ia yang paling baik akhlaknya.” (HR Imam Tabrani)
Itu sebabnya dalam pelajaran agama, misalnya, jangan hanya ditekankan aspek berdoa dan ibadah saja, melainkan juga bagaimana menerapkan secara nyata ajaran agama dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat kita yang majemuk seperti jujur, saling menghormati, saling membantu sehingga siswa tumbuh dan terbiasa dengan kebiasaan baik, hingga terbentuknya sikap yang mahmuda pada diri seorang anak. Hal ini semua sekali lagi penulis tegaskan, tidak mungkin bisa membangun karakter seorang siswa ke arah yang lebih baik tanpa adanya kerja sama antara guru dan orang tua dalam hal mengingatkan dan mecontohkan. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh tokoh besar dalam dunia pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara “Ing ngarsa sung tulada, Ing mangun karsa, Tut wuri handayani”.
Pada akhirnya, penulis mengharap kepada Allah yang Mahakuasa mudah-mudahan kita semua diberikan kesanggupan untuk melakukan semua amanah ini dengan baik dan mampu melewati masa-masa sulit ini hingga pada semester kedua nanti kita semua bisa belajar lebih baik. Amin ya Rabbal Alamin.
By : Angkasah, S.H.I. (Guru PAI SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe)
*Artikel ini sudah dimuat di acehtrend.com, tanggal 05/01/2021