Menakar Literasi Kita
LITERASI dimaknai tidak sekadar sebagai suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun, sebagai suatu kemampuan untuk memaknai segala bentuk informasi secara kritis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang dalam kehidupan keseharian kita. Makna literasi seperti ini sejatinya ialah pemahaman yang sangat modern, yakni terma literasi menjadi sangat luas searas dengan kebutuhan kehidupan kekinian.
UNESCO sejak beberapa dekade lalu memasukkan cakupan makna literasi tersebut sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan bahasa, angka-angka, gambar, komputer, maupun segala sarana yang ada untuk memahami, mengomunikasikan, memperoleh ilmu pengetahuan, memecahkan problem-problem matematis dan menggunakan sistem simbol dari suatu lingkaran budaya tertentu.
Hal ini menjelaskan mengapa negara-negara Barat yang tergabung ke dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan negara-negara Eropa (OECD), memasukkan berbagai skill untuk mengakses ilmu pengetahuan melalui teknologi modern dan kemampuan untuk memahami konteks yang rumit sebagai ukuran pengartian literasi itu.
Literasi menjadi satu terma yang sangat luas, sejalan dengan kebutuhan dalam pergaulan hidup yang sedemikian maju. Dalam interaksi dunia yang semakin nirjarak, seseorang yang tidak menguasai bahasa asing disebut juga sebagai orang yang illiterate, meski ia lancar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya.
Makna yang bergerak
Secara etimologis, makna literasi sangat berdekatan dengan tema belajar. Dalam bahasa Latin, literatus adalah sebutan untuk orang yang melakukan kegiatan pembelajaran. Karena itu, pembahasan tentang literasi tidak pernah dilepaskan dari persoalan kebutuhan kita akan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teori dan praksis tidak dipisahkan dalam hal ini, karena keduanya saling berhubungan secara mutualis. Teori lahir dari praktik dalam kehidupan sehari-hari, dan praktik kehidupan akan dapat dikembangkan dengan menggunakan teori yang dihasilkan para ahli dan pembawa hikmah.
Education Development Centre (EDC) sejak awal meyakini bahwa pengertian literasi itu tidak dapat dibatasi hanya pada aspek kemampuan baca tulis saja, dia lebih dilihat sebagai kemampuan individu untuk menggunakan semaksimal potensi dirinya untuk berkembang dan mencapai kesuksesan.
Karena itu, UNESCO sepakat bahwa literasi tidak lain ialah seperangkat keterampilan nyata, utamanya aspek kognitif dalam membaca dan menulis, terlepas dari sumber perolehan kognisi tersebut dan metode untuk memperolehnya. Pun, dalam perkembangannya, literasi dapat mewujud ke berbagai bidang dan keahlian. Ada literasi kesehatan, ekonomi, politik, hukum, budaya, informasi, dan lain sebagainya, yang dibutuhkan profisiensinya sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing.
Literasi dalam sistem pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) dengan tegas menerangkan bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Artinya, pendidikan dilakukan dengan fokus mendasarnya untuk membangun masyarakat yang memiliki kemampuan literasi tingkat dasar, yaitu membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Karena itulah, guru dan pendidik mempunyai peran besar sekali untuk menanamkan sejak dini kemampuan literasi dasar ini bagi para peserta didik, yang pada gilirannya tingkat literasi masyarakat luas dapat semakin meningkat. Walhasil, dimulailah gerakan literasi di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya paskalahirnya UU itu. Gerakan Literasi Sekolah baru dikembangkan secara formil berdasarkan Permendikbud No 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Bahkan, sejalan dengan gerakan itu, pemerintah baru-baru ini juga telah menerbitkan UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Lahirnya UU ini didorong keinginan untuk semakin meningkatkan produksi karya tulis dalam bentuk buku. Tujuan utamanya tentu pada peningkatan kesadaran literasi dari masyarakat secara luas, yang akhirnya akan membawa pada kultur positif yang mampu menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai kebiasaan publik yang dilakukan secara sadar. Hanya sayangnya, kegiatan sadar literasi itu selama ini lebih didekati dengan pendekatan atas bawah (top down). Kegiatan-kegiatannya pun lebih bersifat seremonial dan formal belaka.
Harus kita sadari bahwa program pemberdayaan masyarakat yang biasanya memberikan hasil positif ialah program yang dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan yang lebih bottom up. Barangkali filsafat pembangunan kita memang masih belum mampu membebaskan diri dari kungkungan teori ‘Hukum dan Pembangunan’ (law and development) klasik yang diimpor ke negeri ini sejak era awal Orde Baru 1970an. Para pemangku negara selalu percaya bahwa pembangunan yang baik ialah yang mampu mengarahkan masyarakat ke dalam suatu tujuan yang didesain secara resmi oleh negara.
Dalam hal ini, institusi negara tak ubahnya adalah jelmaan raja atau sinuwun yang segala sabdanya selalu ditunggu-tunggu untuk mengarahkan jalan hidup rakyat supaya lebih baik lagi. Pandangan ‘bapakisme’ seperti ini sejatinya berasal dari teori patriarch yang menggambarkan seorang pemimpin yang sangat otoritatif dan kemudian menjadi pola yang menjalar ke berbagai belahan dunia lain pada bidang-bidang sekuler lainnya.
Pembangunan kultur literasi dalam masyarakat kita pun agaknya masih didominasi nilai-nilai patriarch. Bersifat top down dan sangat kurang pendekatan kulturalnya. Sudah lama disadari bahwa budaya literasi bangsa kita masih sangat jauh dari negara-negara lain. Bahkan dibanding beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia berada pada tingkat terendah capaian literasinya. Menurut data UNESCO Institute for Statistics 2015, literacy rate Indonesia baru mencapai 93,9%, sedang Vietnam 94,5%, Malaysia 94,6%, Filipina 96,3%, Brunei 96,4%, Thailand 96,7%, dan Singapura telah mencapai 96,8% (UNESCO: 2015).
Bahkan riset yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain, Connecticut, AS pada 2016 menempatkan Indonesia pada negara dengan tingkat dua terendah dari 61 negara yang dinilai tingkat literasinya. Indonesia berada pada posisi 60 di atas Botswana.
Angka-angka itu barangkali merepresentasikan efektivitas program sadar literasi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, yang sejak dekade 60an telah dengan getolnya menggenjot kesadaran literasi masyarakatnya. Sudah tak ayal lagi, tingkat literasi dianggap mampu menggambarkan dengan jeli tingkat pendidikan dan kemakmuran suatu masyarakat dunia saat ini.
Ketika ilmu pengetahuan tidak lagi sekadar satu bentuk produksi, tetapi juga alat, kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat sangat berkelindan dengan perilaku literasinya. Karena itu wajar rangking literasi yang dihasilkan dari berbagai survei di atas sungguh menggambarkan dengan akurat tingkat ekonomi suatu negara, yang saat ini menjadi ukuran bagi kesigapan suatu negara dalam menghadapi masa depannya. Negara-negara yang rendah tingkat literasinya pada umumnya dipandang masyarakat dunia sebagai negara yang kurang maju, rendah prestasi akademiknya, dan cenderung anarkistis. Bahkan dalam beberapa hal menggambarkan situasi nyata kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia di dalamnya yang masih memprihatinkan.
Karena itu, ada baiknya kita mengubah orientasi dan pendekatan dalam mengampanyekan budaya literasi di negeri ini. Pendekatan deduktif-legal-formal harus segera diganti dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Induktif nonlegalistik dapat lebih dikemukakan dalam penciptaan berbagai program peningkatan daya literasi dalam masyarakat kita. Pendekatan kultural mungkin jauh lebih efektif, yang dengannya peran pemerintah lebih diarahkan pada fungsi utamanya sebagai fasilitator dan dinamisator kecerdasan lokal dalam memaknai literasi. Pendekatan formalistis yang dikembangkan melalui berbagai peraturan hukum sebagaimana contoh di atas, jika tanpa dibarengi dengan kegiatan yang local cultural driven pasti hanya akan berakhir dengan kekecewaan.
Ratno Lukito, Guru Besar FSH-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma