Mengejawantahkan Spirit Mendidik di Masa Pandemi
Metode lebih penting daripada materi/konten. Guru lebih penting daripada metode. Namun, ruh/spirit guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri (anonim).
Long life education dan uthlubul `ilma minal mahdi ilal lahdi merupakan pepatah dari dua negara yang bertolak belakang budayanya, namun kandungan maknanya sama, yaitu kewajiban untuk belajar sepanjang hayat, dari buaian hingga ke liang lahat. Begitu pentingnya belajar, sehingga muncullah kalimat-kalimat motivasi yang senantiasa mendorong umat manusia menuju peradaban yang lebih baik melalui belajar. Hasrat terus belajar hingga rambut menguban harus dilatih sejak dini. Dahaga akan ilmu pengetahuan merupakan hal fundamental untuk mencapai level “aku adalah orang bodoh, untuk itu aku harus terus belajar”.
Bukankah manusia itu ciptaan Sang Khalik yang paripurna dibanding makhluk lainnya? Dianugerahi akal sehingga ia menjadi golongan ulul albab; golongan makhluk yang mempunyai otak tajam yang bisa didayagunakan untuk berpikir kritis. Tidak akan habis semua hasil cipta Sang Pencipta untuk dikritisi. Di sinilah pengejawantahan ilmu pengetahuan sebagai basis berpikir logis.
Profesor ilmu
Tentunya mendapatkan ilmu ini membutuhkan perantara atau media. Media ilmu yang menjadi sumber ilmu bisa siapa saja dan apa saja. Orang yang berusia lebih tua atau lebih muda bisa menjadi sumber ilmu, kepekaan terhadap lingkungan sekitar menjadi sumber ilmu, hewan sekecil semut pun bisa menjadi ilmu bagi siapa saja yang mengamati kerja sama antarsemut. Bahkan profesor ilmu itu sendiri, yaitu pengalaman hidup diri sendiri atau pengalaman hidup orang lain menjadi sumber ilmu.
Kenapa pengalaman harus kita sematkan sebagai guru besar ilmu? Karena kejadian yang langsung kita alami akan membekas di ingatan lebih lama, sehingga muncullah perubahan perilaku dalam hidup kita. Sudjana, N (2000) menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri.
Pengalaman belajar di masa pandemi menjadi tantangan yang sangat besar bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan secara langsung, yaitu pendidik, peserta didik, dan orang tua. Pandemi mengubah segalanya benar adanya. Pada masa normal, siswa dan guru menikmati kenikmatan hakiki berinteraksi langsung di sekolah, bercanda di sela-sela belajar-mengajar, mengarahkan langsung siswa jika salah, mengobrol dengan sesama rekan guru, juga kegiatan-kegiatan kebersamaan lainnya.
Munculnya satu makhluk berukuran nano mengubah segalanya, ritme aktivitas menjadi berbeda. Kesibukan berpusat di rumah, jarak menjadi tabir pemisah dalam kegiatan belajar mengajar. Aktivitas belajar yang berpusat pada teknologi menjadi wujud kecanggihan dan modernisasi dalam proses tersebut. Gagap pada mulanya pasti ia, karena pada kesibukan biasanya memang kelas-kelas telah melek teknologi, namun penggabungan teknologi dan tatap muka secara langsung menjadikan kelas tersebut kreatif dan menyenangkan, apalagi jika diselingi memutarkan film-film pendek edukatif di sela kejenuhan belajar.
Perubahan drastis karena keadaan pun terpaksa dilakukan, di mana pertemuan murid dan siswa di kelas sama sekali nihil jika letak sekolah tersebut di zona merah, sungguh ini menjadi titik balik yang mengagetkan. Bagi guru harus memutar otak memaksimalkan kompetensi pedagogiknya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga bentuk follow up dari setiap kelas dalam jaringannya. Sedangkan bagi siswa harus berusaha menumbuhkan keinginan dan rasa penasarannya akan ilmu supaya grafik pencapaiannya dan pemahamannya terhadap materi tidak dikalahkan keadaan. Begitu pula halnya orang tua yang harus punya sikap juang yang sama dengan si anak dan guru.
Bayangkan jika motivasi siswa ini hilang, ambyar semua rencana yang disusun pendidik. Namun, pendidik akan sangat terbantu jika orang tua mengulurkan tangan dan menyumbangkan waktu mendampingi siswa di fase menurunnya motivasi mereka. Di sini guru juga jangan jor-joran membebankan tugas di ambang batas kemampuan siswa memahami dan orang tua mendampingi. Pahamilah ini situasi genting, tidak normal seperti biasanya. Di mana kepribadian siswa inilah menjadi faktor penentu suksesnya pembelajaran di masa pandemi.
Kenisbian hasil belajar
Kesuksesan belajar di masa pandemi menjadi suatu hal yang nisbi. Bagaimana tidak? Kepribadian siswa inilah yang menjadi faktor pendukung terbesar sehingga mereka sungguh-sungguh dalam menunaikan tanggub jawabnya sebagai siswa. Jika bergantung pada orang tua, orang tua mempunyai kesibukan. Begitu pula jika bergantung pada guru, guru hanya bisa memotivasi dari jauh. Hanya satu tempat mereka bergantung, yaitu mengasah kepribadian mereka.
Setiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda satu sama lainnya. Ini merupakan determinan sikap seseorang yang diwujudkan dalam perilaku. Dalam hal belajar, kepribadian yang disiplin akan termanifestasikan dalam kesungguhan untuk belajar, sehingga kesuksesan itu bisa digenggamnya. Syamsu Yusuf (2008) mengatakan bahwa kepribadian manusia pada kenyataannya memiliki perubahan, perubahan yang dimiliki itu terjadi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa fisik, lingkungan sosial budaya, dan diri sendiri. Misalnya; masa pembelajaran secara daring ini, bagi anak-anak yang mempunyai pribadi bertanggung jawab, maka ia akan menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan untuk belajar dan memulai kelas dengan serius, tepat waktu, mulai dari absensi hingga pembelajaran berakhir. Rutinitas masa normal tetap dibiasakan meskipun pandemi. Toh, belajar selama pandemi hanya setengah hari.
Sebaliknya bagi siswa yang dalam kesehariannya menganggap belajar tidak terlalu penting atau main games menjadi prioritasnya, maka hasilnya guru atau orang tualah yang bekerja lebih keras menumbuhkan kepedulian mereka. Aktualisasi mereka sebagai peserta didik masih abu-abu. Padahal, setiap kelas yang diampu guru adalah kelas yang telah direncanakan secara matang (by design), bukan kelas yang diadakan secara kebetulan (by chance).
Dinamika pembelajaran pada masa pandemi sangat beragam, pendidik yang berkantor di rumah, orang tua yang sibuk dengan rutinitasnya, peserta didik yang digoda oleh games dan aplikasi-aplikasi mengasyikkan lainnya di dunia maya, tentunya ini membutuhkan usaha yang keras, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun proses pembelajaran secara daring telah memasuki bulan ke-8, tantangan-tantangannya terus berusaha dicari jalan keluar.
Soesilo W (1980) menyatakan kebiasan dan keterampilan diperlukan individu untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Kebiasaan dan keterampilan tersebut terbentuk pada tahap pertama dari kehidupan individu, yaitu dalam masa kanak-kanak. Dalam masa ini yang merupakan periode dasar bagi kehidupan, ditentukan sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan, dan pola-pola tingkah laku, yang untuk sebagian besar menentukan sukses seseorang dalam menyesuaikan diri pada kehidupan di kemudian hari.
Berkompromilah dengan perubahan yang terjadi selama itu memberikan kebaikan. Spirit mendidik di masa pandemi ini menjadi salah satu jalan membangun generasi emas 2045 yang dibekali dengan keterampilan abad 21, yaitu melek digital. Mari!
By : Siti Sarayulis, S.I.Kom.,M.A. (Guru B. Indonesia SMPS Sukma Bangsa Lhokseumawe)
*Artikel ini sudah dimuat di aceh.tribunnews.com, tanggal 21/10/2020
You may also like
Sukma Bangsa dan Obsesi Surya Paloh untuk Pendidikan di Aceh
December 13, 2022
Sekolah Antiperundungan
March 21, 2022
Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran
January 31, 2022