MENGUTAK-ATIK IMAJINASI, APAKAH KALIAN SALAH SATUNYA?
Hari yang berat untuk orang yang hebat. Begitu kata orang. Walaupun hariku tidak seberat sang penemu lampu Thomas Alva Edison, atau bahkan seseorang dari dunia sastra, JK Rowling dengan novel fenomenalnya Harry Potter. Aku masih setia menerawang hitamnya langit dengan segelas caramell latte di tangan pada pukul 01.47 wib, di mana hanya ada bintang yang menemani dan suara burung wallet yang mengalun—sepertinya masih mencari makan meski telah dini hari.
Aku masih mengulik pikiran dan mencatat waiting list yang harus diselesaikan secepatnya. Maklum, ingin menjadi seseorang yang mendedikasikan hidup agar bermanfaat bagi sekitar adalah satu dari banyaknya cita-citaku.
Dan ya, aku seorang pelajar dari provinsi paling barat Indonesia, Aceh. SMAS Sukma Bangsa Lhokseumawe, begini nama sekolahkua. Saat ini, kesibukanku tak jauh berbeda. Masih dengan laptop kesayangan, menyiapkan misi rahasia untuk masa depan. Dan, di sinilah perjuanganku dimulai.
2 Maret 2021, saat itu Indonesia dihebohkan atas pemberitaan media bahwa virus SARS-Cov-2 atau Covid-19 telah menjejaki bumi pertiwi, di situlah beragam adagium bermunculan. Ada rasa yang khawatir yang meledak-ledak, panik, sedih, bahkan tak banyak yang masih santai dan berasumsi sepele. Tak selang lama, tepatnya 15 Maret 2021 Mendikbud dan ristek Nadiem Makarim, memutuskan untuk menutup seluruh sekolah di Indonesia selama dua minggu guna mencegah penyebaran virus yang semakin gencar. Sontak, euforia itu masih melekat di dalam ingatanku. Pemberitahuan libur di saat sekolah akan melaksanakan Ujian Tengah Semester, itu adalah sesuatu yang sangat langka, atau bahkan hanya terjadi di saat bumi dilanda pandemi.
sekolah full day dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang kadang membuat para siswa penat, tiba-tiba meliburkan sekolahnya, apa tidak kita menyebutnya dengan kata langka?
Maka dua minggu berlalu, dan yang terjadi pada masa itu, tak ada kepastian kapan sekolah akan dibuka kembali. Sebagai siswa aku merasa sedang baik baik saja, pun KBM juga sudah mulai aktif lengkap dengan ujiannya. ya, tidak ada kata libur sepenuhnya wahai sobat, percayalah. Pembelajaran berbasis online, atau bahasa kerennya E-Learning. Ada yang menggunakan aplikasi sekolah, Google Classroom, grup chat WhatsApp, Zoom dan lain sebagainya. Kaget? Tentu iya dong. Butuh penyesuaian dan juga perasaan. Perasaan ikhlas untuk merelakan kuota terpakai maksudnya.
Tidak apalah, yang namanya mendapatkan ilmu pastinya butuh pengorbanan. Penyesuaian itu menimbulkan huru hara dalam kehidupan per-siswa-an. Bagaimana tidak, dampak yang dirasakan bukan hanya sekedar pemangkasan uang jajan atau rasa kebosanan yang begitu menerpa akibat Jam Malam, PSBB, PPKM atau apa itu namanya. Namun yang paling menggetarkan jiwa adalah nilai akhir yang anjlok dan itu berlaku bagi kebanyakan siswa. Kalau kata hatiku, inilah kesempatan emas untuk berprestasi.
Awalnya aku pikir, pandemi akan mengawurkan semua rencanaku. Tapi, sepertinya tidak. Malahan pandemi semakin mendekatkanku dengan apa yang ingin aku tuju. Banyak hal yang akhirnya mengarahkanku untuk membanting labuhan ke bidang penelitian. Melihat dari berbagai media online bagaimana para siswa di luar negeri mengembangkan penelitian tanpa adanya batas, memicu naluriku untuk keluar dari zona nyaman.
Lelahnya mereka, banyaknya jurnal dan referensi yang mesti mereka pahami, bahkan penelitian menggunakan dana sendiri yang jumlahnya fantastis untuk kantong seorang siswa SMA, membuatku semakin yakin bahwa aku harus mendalami bidang penelitian. Penelitian ini tidak memiliki batasan. Semua lapisan masyarakat berhak berkontribusi untuk memecahkan masalah, baik itu sekitaran lingkungan rumah, sekolah, daerah, nasional, dan bahkan menyentuh permasalahan krisis dunia.
Aku menantang diriku untuk menjadi salah satu dari mereka, dengan ikut berkontribusi di bidang yang membuatku tertarik, yaitu bangunan. Pikirku, bangunan merupakan salah satu sektor yang sangat berikatan dan memiliki hubungan erat dengan bumi. Aku ingin tahu bagaimana caranya agar dunia dapat menerapkan bangunan yang sustainable demi menjaga bumi tentunya. Over populasi, global warming, hingga es kutub yang mencair, memiliki hubungan erat dengan bangunan. Maka dari itu, penting untuk bangunan yang sustainable diterapkan secara global sedini mungkin, walaupun hambatan yang diterima seperti teknologi yang belum efisien, kurangnya konsen pemerintah dan hal lainnya, sukar disanggahkan.
Awal permulaan, aku memutuskan untuk bergabung dengan salah satu grup yang bernama Rumah KIR. Aku berkonsultasi dengan Kak Bayu, pemilik Rumah KIR tentang rancangan penelitian yang ingin aku garap. Kami saling bertukar pikiran dengan mengaitkan berbagai persoalan di bidang bangunan untuk dicari kebaruan dan inovasinya. Akhirnya akupun menemukan ide untuk memanfaatkan mikroalga sebagai penghambat pertumbuhan salah satu jamur ruangan yaitu Aspergillus Niger yang dapat menyebabkan iritasi hingga gangguan pernapasan. Penelitian ini tidak sederhana. Keterbatasan referensi lokal, membuatku harus membaca secara ekstra jurnal internasional dari berbagai dunia yang notabenenya berbahasa inggris, untuk riset awal tentang penelitianku. Tidak apa, sekalian memperlancar kemampuan berbahasa inggris pikirku. Pandemi yang masih berlanjut, mengharuskan aku untuk berkomunikasi secara virtual dengan pembimbing dan rekanku.
Rancangan penelitian mulai aku susun dalam bentuk proposal. Deadline yang semakin dekat, menguras waktu dan pikiranku untuk tetap fokus. Belum lagi banyaknya revisian dari pembimbing dan tentor yang cukup membuat mataku seperti mata panda sepanjang hari.
Dan 6 July 2020, pengumuman seleksi proposal mencantumkan namaku dan juga rekanku di daftarnya. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang menyelenggarakan kompetisi, kami difasilitasi seorang mentor di masing-masing bidang, Dr. Nofdianto namanya. Rintangan itu pun kembali menghampiri. Harga bahan yang mahal, alat penelitian yang perizinannya susah disetujui oleh perguruan tinggi sekitar, arahan dari mentor yang eksekusinya harus kami yang pikirkan secara kompleks, penelitian yang beberapa kali gagal, KBM yang tak pernah absen mengintaiku selama penelitian, dan lain sebagainya. Tapi yakinlah kalau usaha itu tidak akan mengkhianati hasil wahai sobat.
Berbekal referensi dari sekian banyak jurnal penelitian yang kubaca juga sharing bersama mentor serta guru pembimbing, aku dengan gigih melanjutkan penelitianku dengan berbagai kendalanya. SEM (scanning electron microscopy) yang merupakan alat penting untuk menunjang hasil penelitianku tidak dapat digunakan akibat perizinan yang sangat sulit pun memutuskanku untuk melihat hasil akhir riset menggunakan mikroskop cahaya, walaupun dengan hasil seadanya. Akhinya 9 November 2020, laporan hasil penelitianku yang sebelumnya telah tersubmit di website resmi LIPI, kembali muncul sebagai salah satu finalis.
Wah, palpitasi jantungku belakangan ini tak sia-sia rupanya. Semangat itu kian membara, mengingat bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan hasil riset itu tidak mudah. Aku bersama rekanku menyiapkan presentasi sebaik mungkin dengan full english, inisiatifku sendiri sebenarnya. Tak berselang lama, presentasi kami berjalan dengan sangat lancar. Tidak semenakutkan yang kukira sebelumnya. Pukul 11.19 WIB di tanggal 19 November, bahagia, haru, lega, bahkan tangis, bercampur aduk di ruang perpustakaan sekolah. Iya, hal yang kudambakan menjadi kenyataan, kami berhasil mendapatkan emas. Juara 1. Itu sungguh pencapaian luar biasa bagiku, seorang putra daerah yang tidak mengenal apa itu penelitian sebelumnya, yang masih haus akan ilmu, dan tidak punya pengalaman sama sekali.
Dengan bangga, aku mengatakan bahwa dari bidang IPK, riset yang aku dan rekanku teliti, dapat mewakilkan Indonesia untuk berkompetisi di ajang bergengsi Regeneron ISEF (International Science and Engineering Fair) pada Mei 2021 bersama dengan 2000 ilmuwan dan investor muda yang berasal dari 60 negara di belahan dunia. Menjadi putra Aceh pertama yang berkesempatan berjuang di ISEF, merupakan karunia yang luar biasa.
Keputusanku untuk melanjutkan fokus ke penelitian setelah awalnya gagal dalam Kompetisi Sains Nasional (KSN) bidang matematika, sangatlah tepat. Aku seringkali memention diriku bahwa ketika hasil yang kudapatkan dari setiap kompetisi adalah kegagalan, tidak apa-apa. Aku masih memiliki banyak waktu untuk berkarya lagi, bahkan untuk sesuatu yang besar kedepannya, yang pasti tetap satu tujuan yang sama yaitu memberikan manfaat, terbukti sudah.
Aku bahkan ketagihan untuk melewati setiap proses dari berbagai kompetisi yang kujalani. Mungkin karena ini bidang yang aku sukai dan sangat interest dipikiranku kali ya. Intinya, lakukanlah hal yang emang disukai, jadinya kita tidak punya alasan untuk tidak menjalankannya. Jangan enggan untuk mengeksplorasi hal apa aja sampai kita menemukan passion diri kita. Time management juga harus dijaga, biasanya aku akan buat goals apa aja yang mesti diselesaikann secara detail, baik dalam jangka waktu harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Jadinya, waktu-waktu yang aku gunakan akan terarah.
Dan di persiapan ISEF, sekolahku sudah mulai pembelajaran tatap muka terbatas. Di waktu itulah fokusku antara sekolah dengan persiapan riset agak terganggu. Akupun mengatur kembali jadwalku dan berusaha semaksimal mungkin untuk produktif. Aku bersyukur, ternyata pandemi banyak membantuku. Entah bagaimana jadinya jika aku harus melakukan penelitian dan mengikuti pembelajaran offline di waktu bersamaan. Pasti harus ada yang aku korbankan di antara keduanya.
Terakhir, pesanku untuk kalian yang masih berjuang menggapai mimpi, teruslah bersemangat. Pengalamanku setahun silam, mengajarkanku bahwa waktu terus berjalan tanpa menunggu untuk siap. Ikuti kata hati, untuk setiap keputusan yang kalian ambil. Isilah dengan hal-hal yang bermakna. Jangan bahas punya atau tidaknya kita suatu privilage. Tapi, ciptakanlah privilage itu. Carilah kesibukan yang bermanfaat selagi kita masih punya kesempatan. Pepatah bijak mengatakan, habiskanlah jatah kegagalan di masa muda. Karena di masa depan nanti, kita hanya perlu memetik keberhasilan yang telah kira tanam sejak dini. Mimpiku juga masih sangat banyak. Aku akan tetap melanjutkan karirku sesuai passionku sejak dini, seputaran bangunan tentunya. Apa yang akan aku lakukan di masa depan, biarlah itu berkelana hanya di pikiranku. Melaju tanpa batas dan menggarap setiap peluang adalah mimpiku agar nantinya bisa memberikan dedikasi utuh untuk Indonesia .
By : Faraz Andini (Siswa SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe)