Menjadi Guru Zaman Now
Menjadi Guru Zaman Now |
MEME yang tersebar di media sosial terkait dengan polah generasi milenial atau lebih populer disebut kids zaman now terkadang membuat kita berada dalam situasi antara ingin tertawa dan mengelus dada.
Salah satu ilustrasinya ialah ketika anak zaman old yang hobinya bermain di luar rumah harus diseret paksa oleh sang ibu agar pulang ke rumah karena hari sudah telanjur sore. Sebaliknya, kids zaman now malah harus diseret paksa oleh sang ibu agar mau keluar rumah untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya karena sudah telanjur kecanduan gadget di tangannya.
Menyalahkan generasi milenial yang telanjur kecanduan perangkat digital yang mereka miliki ialah sama halnya dengan mengutuk kemajuan teknologi itu sendiri yang bisa berarti sebuah kekeliruan. Marc Prensky, seorang penulis dan pemerhati pendidikan asal Amerika Serikat, pernah berujar for our twenty-first century kids, technology is their birthright.
Hal ini mengindikasikan bahwa keterikatan generasi masa kini dengan teknologi merupakan sebuah hal yang tak terhindarkan. Yang menjadi catatan ialah bagaimana teknologi dalam bentuk internet, game online, maupun media sosial dapat diarahkan untuk digunakan dalam ruang yang lebih positif bagi kids zaman now. Maka, dunia pendidikan memiliki peranan penting untuk memanifestasikan hal ini. Salah satunya ialah dengan memberdayakan para gurunya menjadi guru zaman now.
Dalam 21st Century Teachers (Becta: 2010) dan What Kind of Pedagogies for The 21st Century (Scott: 2015) secara gamblang dijabarkan bahwa salah satu kualifikasi untuk menjadi guru di abad ini ialah melek teknologi. Alih-alih menyalahkan teknologi, guru zaman nowsebaiknya mampu menerjemahkan kemajuan teknologi secara tepat dan proporsional bagi proses pembelajaran.
Survey of Schools: ICT in Education (2013) yang dilakukan European Commission (Di rectorate General Communications Networks, Content, and Technology) di sekolahsekolah di 31 negara di Eropa, menemukan bahwa guru-guru yang cukup percaya diri dalam penggunaan ICT (Information and Communication Technology) di sekolah cenderung membawa pengaruh positif bagi proses pembelajaran siswa secara menyeluruh.
Mereka terlihat sebagai guru yang menyenangkan bagi para siswanya karena dianggap gaul dan up to date. Sebaliknya, guru-guru yang kurang percaya diri terhadap pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam mengeksekusi proses pengajaran mereka dianggap sebagai guru yang membosankan.
Tentu, rasa percaya diri atau sebaliknya bagi para guru terhadap penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran dilatari pengetahuan dan kemapanan skill yang mereka miliki terhadapnya.
Implikasinya, para guru yang kurang percaya diri dalam pemanfaatan TIK dalam memfasilitasi proses belajar siswa akan cenderung skeptis terhadap para siswanya yang membawa gadget ke se kolah, baik dalam bentuk smartphone, laptop, maupun lainnya. Guru-guru tersebut akan cukup mudah melabeli siswa yang gandrung dengan teknologi sebagai siswa badung, malas belajar, lalai, dan sebagainya.
Akibatnya ialah para siswa tidak mendapatkan informasi yang tepat dari para gurunya tentang bagaimana seharusnya mereka memanfaatkan teknologi di tangan mereka secara aman dan bertanggung jawab. Maka, tidak mengherankan jika kids zaman now—terutama di Indonesia—cenderung ngawur dan tidak dapat memanfaatkan teknologi yang mereka kenal seperti internet maupun media sosial secara tepat maupun proporsional.
Berbeda dengan hasil survei serupa di atas yang dilakukan European Commission di sekolah-sekolah di 31 negara di Eropa terhadap para siswa. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas peserta didik yang menjadi responden dalam sur vei tersebut menyatakan bahwa mereka paham benar bagaimana memanfaatkan teknologi baik dalam bentuk intenet maupun media sosial secara aman dan bertanggung jawab.
Pemahaman dan kemampuan ini juga didorong perhatian guru terhadap hal penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Perbedaan fenomena ini harus dilihat dari kacamata yang lebih komprehensif. Permasalahan generasi milenial negeri ini yang belum cerdas dalam memanfaatkan TIK tentu bukan berasal dari kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung. Toh, kemajuan peradaban dalam bentuk teknologi ialah sebuah keniscayaan.
Faktanya, seiring dengan laju teknologi yang begitu cepat, pendidikan kita di Indonesia ternyata belum dapat mengimbangi kemajuan tersebut. Salah satu indikatornya ialah masih banyaknya guru yang belum melek teknologi. Alih-alih mampu mengembang kan teknologi yang ada saat ini, masih banyak guru di negeri ini yang masih berkutat dengan hal-hal nonteknis dalam pemanfaatan teknologi.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Bambang Sumintono (2012) terhadap 151 guru sains SMP di Indonesia yang berasal dari dari Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Papua, dalam penggunaan perangkat TIK dalam pengajaran mereka. Salah satu temuan yang me narik ialah para guru di wilayah itu mengalami kesulitan dalam pemanfaatan TIK disebabkan hal yang sangat mendasar sekali, yaitu tidak adanya fasilitas yang mereka miliki.
Secara personal, mereka ti dak mampu membeli perangkat komputer atau laptop un tuk kepentingan proses pembelajaran, dan secara institusional sekolah mereka belum dapat menyediakan fasilitas teknologi serupa. Hal ini mengisyaratkan betapa pendidikan kita tertinggal jauh di belakang.
Momen hari guru yang baru saja diperingati dua hari yang lalu seyogianya menjadi momentum berharga bagi para pemangku kepentingan pendidikan serta seluruh guru di negeri ini untuk melakukan refl eksi setelah 72 tahun memperingatinya. Refleksi un tuk melihat fenomena kids zaman now yang gandrung dengan teknologi sebagai sebuah kemutlakan dari perubahaan zaman.
Yang harus kita upayakan ialah bagaimana mempersiapkan pola pendidikan yang tentunya juga zaman now, yakni rangkaian prosesnya akan menggiring generasi milenial itu ke dalam ruang yang lebih positif dalam memanfaatkan teknologi yang mereka kuasai. Pada titik ini, guru sebagai aktor utama dalam ruang pendidikan itu haruslah memainkan perannya sebagai guru zaman now, yang tidak anti dan melek teknologi, serta mampu membawa peserta didiknya dapat menggunakan teknologi itu secara tepat, aman, dan bertanggung jawab. Semoga.
Marthunis,Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh | Media Indonesia, 27 November 2017