Mensyukuri Kemerdekaan
PADA Jumat, 17 Agustus 2018, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia. Kemerdekaan merupakan hak asasi manusia dan anugerah dari Yang Mahakuasa. Mukadimah UUD 1945 menegaskan hal itu. Masyarakat di berbagai daerah menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti upacara bendera, pawai, berbagai lomba, dan renungan malam (muhasabah) sebagai ekspresi sukacita menyambut hari jadi Republik tercinta. Ekspresi bisa ditafsirkan sebagai perayaan nasionalisme dan kesetiaan warga bangsa pada negara.
Pada 22 Agustus 2018, umat Islam juga akan memperingati Idul Adha yang di dalamnya terkandung amaliah berkaitan hubungan dengan Sang Khalik (hablun min Allah) dan hubungan dengan manusia (hablun min annas).
Dalam perspektif pendidikan dan konteks membangun masyarakat, saat ini dan mendatang, paling tidak ada dua hal fundamental yang dapat ditarik dari kedua hari besar tersebut, yaitu rasa bersyukur (gratitude) dan kepedulian akan keberlangsungan generasi masa depan.
Dua dimensi syukur
Syukur merupakan kata dari bahasa Arab yang mengandung makna dua dimensi: hubungan seseorang dengan Sang Khalik (berkaitan dengan keyakinan) dan amaliah dengan manusia atau makhluk lain (memanfaatkan nikmat).
Dalam dimensi keyakinan, bersyukur berarti selalu menyadari bahwa apa yang dimiliki seperti harta benda, kekuasaan, ilmu dan anak serta lainnya, semata-mata merupakan anugerah Yang Maha Pengasih dan hanya titipan-Nya. Keyakinan seperti itu harus kita tanamkan, pertahankan, dan kukuhkan pada diri masing-masing sebagai warga bangsa (muslim) karena pemilik absolut kelebihan yang ada pada kita adalah Sang Khalik.
Dengan pemahaman dan pengakuan seperti itu, seseorang akan menjadi amanah terhadap apa yang dimilikinya dalam kehidupan dan bersikap rendah hati (tawaduk). Karena tiada alasan dan kepantasan bagi mahkluk untuk berperilaku, bersikap dan bertindak sombong, adigang, adigung, adiguna, pongah, mengecilkan orang lain atau meremehkan lantaran harta benda, kekuasaan atau pangkat dan ilmu pengetahuan, termasuk pengalaman profesional.
Dimensi amaliah rasa syukur diwujudkan dengan memanfaatkan semua kelebihan yang ada pada kita (harta benda, kekuasaan dan ilmu termasuk pengalaman profesional serta lainnya) secara tulus untuk mencapai ridha-Nya. Syukur melahirkan perbuatan baik (amal saleh) sebagai pewujudan dari orang yang bermanfaat bagi orang lain (khairun naas anfa’uhum linnaas), yakni berbuat sesuatu yang terbaik untuk kemaslahatan umat.
Misalnya, kita membantu mereka yang mengalami kesulitan atau membutuhkan secara tulus, seperti fakir, miskin, saail, mahruum, yatim dan mereka yang terkena bencana dalam bentuk sumbangan, infak, sedekah, kurban atau bentuk program dan kegiatan yang dapat memberdayakan masyarakat seperti menciptakan lapangan kerja, layanan kesehatan dan pendidikan yang baik untuk orang-orang yang tidak mampu atau dalam keadaan darurat. Dimensi kedua ini merupakan perwujudan dari prinsip menyebarkan kasih sayang terhadap sesama.
Keberlangsungan generasi
Melalui kedua hari besar di atas, kita diingatkan untuk peduli terhadap kelangsungan generasi yang akan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita diingatkan untuk menyiapkan generasi yang kuat atau tangguh yang memiliki kemampuan (sikap, perilaku, dan ilmu) yang menjadikannya memiliki daya tahan yang baik dan bisa membawa orang lain dapat dapat juga bertahan dengan baik dalam kehidupan, sebagai manifestasi dari konsep ‘baik untuk dirinya dan baik untuk orang lain’.
Dalam konteks globalisasi, sebuah proses, yakni percepatan internasionalisasi dari pelbagai dimensi kehidupan, serta terhubungkannya melalui jaringan global yang memengaruhi berbagai terhadap tatanan kehidupan, seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi, dan pendidikan (Sholte: 2000; Cohen dan Kennedy: 2000; Steger: 2001), perlu untuk menyiapkan generasi masa depan yang siap menghadapi era yang ditandai dengan inkorporatisasi penduduk dunia menjadi satu warga dunia (world citizen).
Generasi kini dan masa depan perlu diberi bekal nilai, ilmu, sikap, keterampilan yang diperlukan untuk hidup berdampingan dengan mereka yang berlatar belakang sosiokultural, politik, ideologi, dan agama yang beragam. Proses pembelajaran harus merupakan upaya mengukuhkan sense of identity dalam keragaman afiliasi pandangan, paham atau ideologi (Burbules dan Torres: 2000, 20-22).
Dalam perspektif agama (Islam), menyiapkan generasi masa depan terkandung dalam doa Nabi Ibrahim AS, tentang anak saleh; “Ya Allah, anugerahi aku seorang anak yang saleh, anak-anak menyejuk hati (As-Samarqindy; al-Maaturidy).” Itu artinya; pertama, berbakti kepada Yang Maha Pengasih dengan menjalankan ketentuan yang ditetapkan dalam agama.
Kedua, berbuat baik terhadap makhluk yang diwujudkan dalam amaliah, seperti kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan menjadi warga dunia, termasuk hubungan dengan makhluk lainnya yang sering diungkapkan dengan istilah, hablum ma’a makhluk dan hablun ma’a alam, yakni berbuat baik terhadap makhluk Allah lainnya (hewan dan tumbuh-tumbuhan).
Ketiga, tidak menimbulkan petaka atau kerusakan (Ath-Thabary) dalam kehidupan, yaitu segala bentuk dan jenis yang dapat merusak diri sendiri dan merusak tatanan kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, moral, dan kerusakan alam/sumber daya alam). Keempat, menjadi pelopor kebaikan.
Ciri ini mempunyai kaitan dengan konsep umat atau masyarakat yang baik (khairu ummah), yaitu orang-orang yang memiliki akhlak baik–dalam tutur kata, perilaku, berinteraksi dan bermanfaat bagi orang banyak dengan memanfaatkan harta, ilmu, kekuasan yang dianugerahkan Tuhan (Ath-Thabari; Sayyid Ath-Thanthawy).
Penyiapan generasi masa depan yang kuat atau tangguh (anak saleh) dalam perspektif agama (Islam) ialah memberi memberi bekal untuk perjalanan kehidupan di dunia dan setelah kehidupan dunia (minad dunya), yaitu keyakinan kukuh sebagai hamba Yang Maha Pengasih (‘ibaadur Rahmaan), akhlak mulia yang melahirkan orang baik (muhsin) untuk dirinya, orangtua (birrul waalidain) dan bermanfaat bagi orang lain (teman, tetangga, masyarakat), ilmu dan pemahaman yang dalam serta mengamalkannya demi kepentingan umat.
Kemerdekaan selalu patut dirayakan dan disyukuri. Namun, rasa syukur harus juga dijadikan muasal untuk segala niat dan upaya baik dalam mempersiapkan generasi masa depan bangsa. Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!
Fuad Fachruddin Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
Pada: Senin, 20 Agu 2018, 06:45 WIB