Menyekolahkan Sekolah
Pendidikan harusnya humanistik dan bukannya behavioristik, kata Benjamin S. Bloom, tokoh filsafat pendidikan abad ini. Pendidikan diharapkan menjadi salah satu pranata yang menawarkan solusi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat. Untuk itu, sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan, dituntut mempraktekkan pola pembelajaran aktif, kritis, kreatif dan solutif; dan bukan pembelajaran yang kering akan makna dan sarat dengan “persiapan” dan training.
Salah satu kritik paling pedas untuk sekolah diutarakan oleh filosof besar pendidikan Ivan Killich. Ia mengatakan sekolah adalah pedagang kurikulum dan para guru adalah distributornya. Kurikulum sebagai salah satu unsur utama dari sebuah sekolah berisi sebundel konten yang telah direncanakan. Seterusnya, peran sekolah adalah memasarkan kurikulum tersebut kepada para penggunanya, dalam hal ini para siswa. Sekolah populis adalah model sekolah oportunis yang hanya peduli dengan nama besar, kesuksesan dan prestise dan sama sekali tidak peduli dengan pendidikan.
Sekolah
Kita sebagai orangtua kadang akan langsung terpukau ketika putra-putri kita menang lomba. Para pemenang itu langsung diposisikan sebagai orang-orang sukses karena berhasil menyingkirkan para pesaingnya sehingga berhak menyandang predikat juara. Namun pernahkah kita bertanya lebih lanjut tentang bagaimana belajarnya, bagaimana menang lombanya, bagaimana psikologisnya, dst. Kebanyakan orang lebih ingin tahu apa prestasinya dan tak ada yang mau tahu bagaimana best practices-nya.
Syamsir Alam (2021) menyebut ada kecenderungan sekolah menjalankan praktek bimbingan Persiapan Penilaian Standar (PPS) dalam rangka meningkatkan prestasi para siswanya. Selanjutnya, disebutkan bahwa paling tidak ada 3 karakteristik dari praktek PPS ini yaitu, pertama, siswa dipaparkan dengan berbagai macam model soal dan materi yang meniru ujian yang sebenarnya. Kedua, siswa diarahkan agar fokus mempelajari hanya materi yang menjadi kisi-kisi ujian; dan ketiga, siswa dipaparkan dengan cara cepat menjawab soal menggunakan teknik tertentu.
Skenario di atas sedikit banyaknya dijalankan oleh sekolah-sekolah dalam rangka “menyukseskan” para siswa dan mendongkrak kredit sekolah. Praktek PPS tersebut dijalankan secara masif ketika siswa akan menghadapi ujian, mengikuti lomba, bahkan juga untuk KBM yang mengejar target kurikulum. Dari awal masuk, sekolah sudah mulai mengklasifikasikan siswa berdasarkan prestasi dan nilai tes, kadang-kadang minat dan bakat siswa juga menjadi pertimbangan. Seterusnya mereka ditugaskan untuk belajar dibidang tertentu (satu atau beberapa mata pelajaran). Mereka mendapat peran untuk berkonsentrasi dan menjadi yang terbaik dibidang masing-masing. Bila perlu mereka juga diizinkan untuk tidak mengikuti proses belajar mengajar (PBM) di kelas atau minimal tidak perlu mengikuti pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu yang tidak ada hubungan langsung dengan target prestasinya di bidang tersebut. Pendeknya, mereka “bersekolah” dengan misi memenangkan sebanyak mungkin lomba untuk prestasi pribadi dan gengsi sekolah.
Penulis pernah berdiskusi dengan salah satu siswa berprestasi internasional asal sebuah sekolah unggul di Aceh. Penulis menanyakan bagaimana proses pembelajarannya di sekolah. Ia lantas mengungkap bahwa ia tidak perlu ke sekolah dalam masa intensif dan persiapan lomba (sekitar 6 bulan menjelang lomba). Yang ia lakukan adalah ikut kemanapun pembimbingnya beraktifitas dan “belajar” semua cara cepat dan trik-trik lomba serta drilling materi lomba. Nilai-nilainya dalam seluruh mata pelajaran sudah “diamankan” dan dijamin diatas KKM. Sebuah penghargaan karena telah mengharumkan nama besar sekolah. Siswa ini sukses menjadi salah satu dari tiga siswa terbaik nasional dibidangnya pada tahun tersebut sehingga berhak ke pentas internasional. Namun pertanyaannya adalah apakah ia sedang mengenyam pendidikan dan bersekolah?
Jawabnya tergantung pada pemaknaan bersekolah itu sendiri. Jika bagi kita parameter bersekolah adalah mengumpulkan prestasi sebanyak mungkin dan mengharumkan nama pribadi dan sekolah seluas mungkin, maka jelaslah ia bersekolah dengan sangat baik. Namun jika bersekolah adalah belajar dan menikmati proses pembelajaran agar seseorang memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik serta memiliki kemerdekaan dalam menentukan sikap dan kedewasaan memilih, maka “pemaksaan” seperti potret diatas jelas bukan bersekolah melainkan menjadi ‘sapi perah’ sekolah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada sekolah-sekolah tertentu yang sedikit banyaknya menjalankan praktek tersebut. Itulah pendidikan bagi mereka. Berkompetisi dan menjadi pemenang adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi. Sekolah saling berlomba dan mencari pembuktian kesuksesan pendidikan melalui prestasi para siswa. Pendidikan bagi mereka tergambar dari banyaknya piala dan penghargaan di lemari showcase sekolah.
Bahkan yang lebih menyedihkan adalah efek pendidikan ala bank ini telah menjadikan siswa-siswa sebagai mesin pencari piala dan dinilai gagal terdidik. Selanjutnya, para siswa tersebut tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke level yang paling baik di universitas karena gagal dalam tes potensi akademik (TPA) dan tes potensi skolastik (TPS) yang berorientasi pada pemahaman Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang notabenenya tidak bisa didapat dengan model belajar drilling. Universitas sudah sangat paham dengan praktek ini sehingga mereka membuat sistem seleksi ketat untuk mengeliminasi siswa karbitan yang hanya menguasai satu bidang. Kampus lebih tertarik dengan siswa terdidik, bukan terkarbit.
Bersekolah
Pola pendidikan ala kompetisi identik dengan model pembelajaran drilling dimana anak dianggap sebagai sebuah bank atau celengan. Guru atau dalam hal ini pelatih/pembimbing lomba ditugaskan untuk menabung ilmu dalam otak si anak. Pola ini telah diejek oleh Paolo Freire (1970) dengan mengatakan, pendidikan akhirnya menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.” Ia memperingatkan bahwa semakin banyak tabungan yang dititipkan kepada mereka (para siswa), semakin kurang mereka mengembangkan kesadaran kritis.
Jean Piaget (1970) juga telah lama mengultimatum bahwa ketika seorang guru mengajarkan sebuah hal kepada seorang anak, maka guru telah menghancurkan satu-satunya kesempatan anak tersebut untuk belajar. Ketika para guru tidak sabar dan ingin segera membuat seorang anak menjadi pintar, maka ia sedang mematikan semangat juang dan kesempatan belajar anak. Karena menurutnya, ketika siswa menemukan dan belajar sebuah hal karena usahanya sendiri walaupun butuh proses yang lama, maka hal tersebut akan membekas dalam benaknya selama-lamanya. Ibarat melukis di atas batu kata pepatah, lama dan butuh ketekunan, kesabaran dan waktu, namun hasilnya sangat bermakna dan karenanya akan membekas dalam keabadian.
Namun ketika ada guru yang “mencekoki” hal tersebut dengan metode drilling, ibarat melukis di atas air, mudah, instant, cepat dan tak butuh usaha, namun hasilnya akan segera hilang karena keringnya hikmah. John B. Carroll (1963) menyatakan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut.
Akhirnya, kita patut mencontoh cara belajar Nabi SAW bersama guru beliau Jibril AS, yaitu dengan metode hikmah dan kebermaknaan. Kurikulum ala Nabi baru selesai setelah 23 tahun. Kelas beliau tidak terburu-buru mengejar ketuntasan kurikulum dan tidak tergesa-gesa untuk menjadi juara. Yang lebih diutamakan adalah kebermaknaan setiap ayat Al-Quran seiring keadaan sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab ketika itu. Inilah potret pembelajaran sejati. Melalui model belajar ini Nabi SAW sukses menjadi tokoh pertama manusia paling berpengaruh dalam sejarah versi buku The 100, A Ranking of the Most Influential Persons in the History karya Michael Hart (1978) karena pendidikan. Sekolah yang memihak pada pembelajaran (a school that learns) adalah potret sejati sekolah manusia. Wallahu a’lam.
By : Fachrurrazi, M.A. (Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen)
*Artikel ini sudah dimuat di bireuen.sukmabangsa.sch.id, tanggal 01/09/2021