Menyibak Pendidikan Inklusif
DALAM sebuah acara TV yang dipandu Deddy Corbuzier, pada 10 Agustus 2018, ditampilkan seorang pemuda difabel yang kreatif. Saat Deddy menanyakan hal yang berkaitan dengan pendidikannya, pemuda itu menjelaskan betapa sulit untuk diterima di sekolah-sekolah yang ada. Bahwa pada akhirnya dia bisa diterima, sekolah yang menerimanya hanyalah sekolah yang ‘biasa-biasa saja’.
Singkat kata, anak yang memiliki kelainan (disabilitas) seperti autis dan down syndrom tidak mudah memperoleh pendidikan bermutu, sebagai hak asasi, melalui sekolah reguler karena banyak faktor. Beberapa hal di atas menarik didiskusikan terutama berkaitan dengan topik pendidikan inklusif. Bagaimana penerapan kebijakan akses pendidikan bermutu–terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah–bagi semua anak bangsa dalam realitas kehidupan? Apa dan bagaimana ide dan realitas pendidikan inklusif?
Pengertian dan manifestasi
Kata inklusif berasal dari kata dalam bahasa Inggris include yang berarti ‘menjadi bagian dari sesuatu’ atau ‘menyatu’. Lawan katanya ialah exclude yang berarti ‘to keep out, to bar, or to expel’ (Villa; Thousand: 2005). Dari sudut pandang filsafat, inklusi adalah pemahaman atau cara berpikir yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial.
Meningkatkan inklusi berarti menghilangkan eksklusi, yaitu ketidakadilan (inequality) dalam dimensi sosial dan ekonomi (Booth; Nes; Stromstad: 2005). Kata inklusi mengandung unsur pokok, antara lain sikap positif atau inklusif terhadap anak-anak yang memiliki kelainan, rasa efikasi yang tinggi terhadap pembelajaran, dan kemauan serta kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan ‘kelainan’ individu (Loreman; Earle; Chris: 2007) atau konsep individual differences. Kata inklusif juga bermakna menghormati orang lain yang berbeda identititas (latar belakang sosial, budaya, agama, dll).
Pendidikan inklusif dapat dilihat dari dua sisi utama, yaitu, pertama, akses pendidikan bermutu bagi seluruh anak bangsa (normal dan berkebutuhan khusus). Hal ini berkaitan konsep kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Kedua penanaman sikap inklusif di kalangan anak bangsa dalam kerangka mewujudkan masyarakat demokratis.
Akses pendidikan bermutu
Pendidikan inklusif menunjuk kepada akses pendidikan secara adil bagi seluruh anak warga bangsa yang mempunyai perbedaan atau keragaman latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi (Adamowaycs: 2008).
Pendidikan inklusif merupakan suatu proses dalam menangani dan merespons kebutuhan yang berbeda dari peserta didik dengan mengoptimalkan partisipasi mereka dalam pembelajaran. Merupakan pendekatan transformatif terhadap sistem pendidikan yang ada agar responsif terhadap keragaman peserta didik.
Sasarannya menyingkirkan hambatan yang mengakibatkan kelompok anggota masyarakat (anak-anak perempuan, kelompok etnis minoritas, kelompok yang tidak beruntung, anak-anak dengan kelainan, dan anak-anak yang tidak terjangkau melalui sistem pendidikan formal dan nonformal) sulit mengakses pendidikan (Sandkull: 2005; UNESCO: 2005).
Dalam pendidikan inklusif, isu akses pendidikan bermutu untuk anak-anak berkelainan dan/atau yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus tampak sangat menonjol. Pendidikan inklusif diwujudkan dalam sekolah inklusif yang mempunyai misi memberi kesempatan kepada setiap peserta didik dan menjamin anak-anak berkelainan diakui sebagai warga belajar dan kebutuhan khusus mereka dipenuhi (Mahat: 2008).
Bagaimana manifestasi misinya? Dalam cara pandang lama dikenal dengan traditional dualistic system, yakni memisahkan anak-anak warga bangsa yang normal dan yang berkelainan dalam persekolahan. Anak-anak yang berkelainan mendapat layanan pendidikan khusus melalui sekolah luar biasa, sedangkan anak-anak normal melalui sekolah reguler. Dengan sistem itu, interaksi kedua kelompok anak tidak terjadi.
Kebijakan dan implementasi model seperti ini telah menimbulkan segregasi dan alienisasi anak-anak berkelainan dalam kehidupan. Dalam paradigma baru, sekolah inklusif dimanifestasikan melalui pendekatan integrasi, yakni kedua kelompok anak bangsa (yang normal dan berkelainan) memperoleh pendidikan dalam sekolah yang sama (sekolah reguler) dengan pemenuhan hal yang diperlukan seperti guru pembimbing. Mereka mempunyai akses kesempatan belajar yang sama dan terlibat dalam kegiatan akademik dan sosial dalam sekolah yang sama (Porter: 2007).
Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa sekolah inklusif menerima anak dengan keragaman latar belakang dan kemampuan melalui pembelajaran dalam satu kelas dengan fasilitasi akses yang sama agar mereka mengenyam pendidikan bermutu.
Pelaksanaan konsep integrasi memerlukan beberapa syarat. Antara lain model pengajaran yang berbeda, kurikulum dan pengajaran yang luwes sesuai prinsip perbedaan, didukung staf pengajar yang memiliki pengetahuan beragam dan praktisi spesialis, adanya partisipasi orangtua, bantuan teknis guru, sejawat; dan penanganan persoalan sikap atau kelainan perilaku secara kreatif (Adamowycs: 2008).
Selanjutnya, keberhasilan pelaksanaan sekolah inklusif dipengaruhi beberapa faktor seperti pemahaman, sikap, dan perilaku terhadap sekolah inklusif dan sikap inklusif dari guru serta kebijakan tentang sekolah atau kelas inklusif (Mahat: 2008 dan Mdika et all: 2007). Faktor lain seperti adanya pelatihan pendidikan inklusif dan peningkatan kemampuan profesional guru yang ajek, pengetahuan dan keterampilan guru menciptakan lingkungan yang inklusif dan diikuti dengan pengembangan sikap dan sentimen yang kuat untuk menjamin kelangsungan kelas inklusif juga penting (Loreman et all: 2007).
Akhirnya sikap inklusif di kalangan pemimpin sekolah (kepemimpinan inklusif) merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan terhadap keberhasilan penerapan dan kelangsungan kelas inklusif (Sperandio; Klerks: 2007).
Anak-anak miskin yang memiliki kemampuan akademik baik atau cemerlang sudah mendapat perhatian dari beberapa lembaga, yayasan, atau sekolah yang berlabel unggul. Tentu jumlah anak miskin yang mendapatkan perlakuan seperti ini merupakan bagian kecil dari jumlah anak miskin yang ada. Namun, apakah anak-anak miskin yang berkemampuan biasa-biasa saja sudah memperoleh sentuhan sekolah bermutu?
Penyemaian sikap inklusif
Dalam konteks menumbuhkan masyarakat inklusif atau demokratis, pendidikan inklusif dipahami sebagai proses penanaman sikap toleran di kalangan peserta didik agar mereka siap menghadapi atau apresiatif terhadap perbedaan dalam kehidupan seperti pendapat, pandangan, kepercayaan dan budaya, etnik, dan ideologi. Juga dalam pendidikan inklusif, kesadaran kritis terhadap isu-isu keadilan ditumbuhkan melalui refleksi (Landorf; Rocco; Nevin: 2006).
Oleh sebab itu, pendidikan inklusif tidak dapat dipisahkan dari proses demokratisasi masyarakat. Pada era reformasi dan pascareformasi demokrasi menjadi salah satu isu utama. Upaya-upaya untuk menerapkan nilai keadaban/demokrasi substanstif (Fachruddin, 2006) seperti kebebasan individu dan perlakuan adil di depan hukum, toleran/inklusif(tasamuh).
Lalu, menghargai perbedaan dan harkat martabat seseorang, antidiskriminasi, dan antikorupsi merupakan hal urgen untuk mewujudkan masyarakat dan negara RI yang demokratis. Akhirnya, pendidikan (sekolah) mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai keadaban itu. Sekolah atau kelas demokratis dicerminkan dengan sikap dan perilaku guru yang demokratis, seperti kasih sayang, anti kekerasan dan antidiskriminasi. Kesediaan guru membantu murid yang lamban mengikuti pembelajaran merupakan contoh komitmen guru terhadap antidiskriminasi dan inklusi. Wallahu ‘alam.