Pembelajaran HAM
“Keadilan, kebenaran, kebebasan, itulah pangkal dari kebahagiaan.” (Plato). Suatu riset serius yang dilakukan beberapa tahun lalu oleh tujuh akademisi dari tujuh negara di belahan Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Asia menemukan, anak yang agamais (religius) ternyata justru berperilaku lebih asosial ketimbang teman-teman mereka dengan latar belakang pengetahuan agama yang lebih tipis. Penemuan ini dimuat dalam jurnal Current Biology Volume 25, November 2015, dengan judul menantang, The Negative Association between Religiousness and Children’s Altruism across the World.
Riset itu sungguh menjungkir-balikkan common sense kita bahwa peserta didik yang lebih mumpuni pengetahuan agamanya bakal mempunyai tingkat moralitas yang lebih tinggi pula. Bertentangan dengan pandangan umum masyarakat bahwa pendidikan agama sejurus dengan perilaku akhlak dan moral seseorang, penemuan itu justru membuktikan pengetahuan agama ternyata tidak berhubungan secara langsung dengan tingkat altruisme atau kesalehan seseorang.
Anak-anak dari keluarga yang lebih ketat pengamalan agamanya cenderung berperilaku bengis dan judgmental jika dibandingkan dengan mereka dengan latar keluarga kurang agamais. Secara umum penelitian itu membuktikan bahwa pendidikan agama boleh jadi tidak terlalu kontributif terhadap perkembangan psikologis yang positif dari peserta didik.
Namun, hal ini bukan berarti pendidikan agama tidak diperlukan lagi dalam lembaga pendidikan kita. Bahkan, sejak awal UU No 20/2003 mengamanatkan pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Religiusitas peserta didik dipahami sejajar dengan kesiapannya menjadi warga negara yang demokratis dan unggul. Persoalannya, sejauh mana prinsip-prinsip pembelajaran agama itu mampu membentuk anak didik kita menjadi insan kamil sebagaimana yang diamanatkan UU di atas?
Agama dan HAM
Segaris dengan fakta hubungan yang tidak linier antara agama dan perilaku altruisme anak didik sebagaimana riset di atas, pertanyaan kita kemudian mengarah pada persoalan pendidikan HAM pada lembaga pendidikan di Tanah Air.
Hampir semua pendidik di negeri ini memahami prinsip-prinsip HAM harus diajarkan sedini mungkin. Paling tidak peserta didik sadar bahwa dalam interaksi antarsesama, perilaku prososial itu perlu dibudayakan. Sikap saling menghormati, menghargai, misalnya, menjadi perilaku dasar ajaran HAM supaya kehidupan publik terjaga keutuhannya.
Perlu disadari bahwa agama dan HAM sejatinya bertali berkelindan. Ajaran agama selalu bersentuhan dengan persoalan HAM dan inheren di dalam HAM persoalan pengamalan agama. Jika terungkap dalam penelitian di atas bahwa anak didik yang agamais biasanya lebih tinggi nafsu kompetisi dan persaingannya daripada kolega yang lebih minim religiusitasnya, hal ini berarsiran dengan persoalan HAM pada sejauh mana nilai-nilai HAM itu terungkap dalam keseharian.
Bagaimana para pendidik kita dapat mengajarkan perilaku apresiatif terhadap orang lain, yang ditunjukkan, misalnya, dengan tindakan suka mengalah dalam kehidupan keseharian, merupakan bagian inheren dari pendidikan HAM. Absurdnya, pendidikan HAM selama ini tampaknya lebih banyak dipahami sekadar rentetan hafalan tentang definisi dan asosiasi normatif mengenai hak dan kewajiban, ketimbang dimensi penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan nyata.
Karena itu, meletakkan pendidikan agama dalam bingkai yang sama dengan persoalan pembelajaran HAM bagi peserta didik kita sangatlah mendesak. Titik temu keduanya berada pada persoalan kepentingan menjadikan kedua subjek pembelajaran itu sebagai pelajaran yang tidak hanya berhenti di tingkat kognisi saja, tetapi juga harus bermuara pada aspek pengamalan, baik itu afektif maupun psikomotoriknya, di relung kesadaran publik bangsa ini.
Dengan kata lain, pengetahuan terhadap seluk-beluk agama atau HAM tidaklah bermakna apa pun jika tidak mampu mendorong seseorang berperilaku positif terhadap tindakan prososial di tengah kancah kehidupan keseharian yang plural ini.
Belajar HAM
Dua aspek besar yang menjadi perhatian kita. Pertama, persoalan perspektif pendidikan HAM dan kedua metode pengajarannya. Banyak kalangan memahami HAM sebagai anak dari kampanye westernisasi yang gelombangnya tidak mampu ditolak masyarakat dunia ketiga. Pendidikan HAM proses pengadopsian nilai-nilai Barat yang dalam banyak hal mungkin tidak sesuai nilai-nilai lokal. Pun ini dipersulit persoalan metodologis tentang transfer kognisi itu dapat berjalan baik.
Pada era kekinian, pendidikan HAM tidak lagi dipahami sebagai proses transfer nilai dari dunia Barat ke Timur. Pendidikan HAM sejatinya proses pembelajaran yang fluid untuk memahamkan peserta didik akan hak individual sehingga mampu memperjuangkan hak itu, sekaligus mampu menghargai hak orang lain. Budaya HAM yang resiprokal terbangun dalam diri peserta didik sehingga interaksi antara hak individu yang berbeda terjembatani demi terbangunnya sistem sosial, budaya, dan politik masyarakat yang sehat dan adil.
Di sini, pendidikan HAM adalah kebutuhan semua orang. Sebab ia bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan tentang hak-hak individu, tapi proses penyadaran dalam konteks kemasyarakatan. Karena itu, jika pendidikan HAM dimaknai lebih sebagai proses ketersambungan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, yang terjadi tidak sekadar proses pendidikan, lebih kepada proses pembelajaran. Transmisi pengetahuan tentang hak individu itu harus direalisasikan dengan dimensi praksisnya.
Pembelajaran HAM harus dimaknai proses belajar menyambungkan pengetahuan, perilaku dan keterampilan tentang HAM dalam kehidupan melalui pengalaman dan latihan.
Sejalan dengan itu, Komisi HAM PBB dan UNESCO mendefinisikan pendidikan HAM pada lembaga pendidikan dasar dan menengah sebagai pendidikan, pelatihan, dan informasi yang ditujukan membangun budaya universal HAM melalui berbagi pengetahuan, menanamkan keterampilan, dan pencetakan sikap untuk mendorong tindakan yang diarahkan pada penguatan rasa hormat terhadap HAM, serta kebebasan fundamental, toleransi, kesetaraan dan perdamaian, di antara individu, dalam masyarakat, dan antarnegara (United Nations, Human Rights Education in Primary and Secondary School Systems, 2012).
Pendidikan HAM sebagaimana konsep PBB itu tidak mungkin tercapai jika pembelajaran HAM dalam institusi pendidikan kita tidak menerapkan prinsip ganda dari pendidikan berbasis HAM (human rights-based approach to education), yaitu human rights through education dan human rights in education.
Prinsip pertama, pembelajaran HAM itu bisa dilakukan jika semua komponen dan proses pendidikan–termasuk di dalamnya kurikulum, subjek studi, metode, dan kegiatan studi–bersifat kondusif terhadap proses pembelajaran HAM, sedangkan prinsip kedua lebih memberikan kepastian bahwa semua anggota komunitas sekolah itu bersikap saling menghargai dan nilai-nilai HAM dipraktikkan dalam interaksi harian di sekolah.
Ratno Lukito, Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma