Pendidikan dan Gawai; Bersatu atau Bercerai?
“TENTUNYA anak-anak Anda se nang sekali dengan ada-nya Ipad?” tanya Nick Bilton kepada Steve Jobs, pendiri dan pemimpin perusahaan teknologi Apple. Saat itu, 2010, tablet pertama Apple baru saja meledak di pasaran.
Jawaban Steve Jobs, seperti terekam dalam The New York Times edisi 14 September 2014, sungguh mencengangkan. “Mereka belum menggunakannya. Kami membatasi penggunaan teknologi oleh anak-anak kami di rumah.”
Pemimpin perusahaan teknologi yang berkategori low-tech parent ternyata bukan hanya Steve Jobs. ‘Banyak sekali di antara mereka’, tulis Nick Bilton, ‘yang benar-benar membatasi waktu anak-anak memakai gawai, melarang mereka bermain gawai di malam hari, saat hari sekolah, dan memberi batas waktu yang ketat di akhir pekan’.
Dalam buku yang ditulis Joe Clement dan Matt Miles (2017), Screen Schooled: Two Veteran Teachers Expose How Technology Overuse Is Making Our Kids Dumber, dikutip beberapa riset yang kiranya menjadi alasan para pemimpin perusahan teknologi tersebut.
Gawai, pertama-tama, membuat anak-anak rentan terpapar oleh konten berbahaya, seperti pornografi atau kekerasan. Mereka juga bisa mengalami perisakan atau tergerak oleh terorisme. Yang paling buruk tentulah menjadi addicted; kecanduan. Riset menunjukkan pemakaian gawai yang tak terkendali oleh anak-anak atau remaja ternyata berbahaya bagi fungsi otak mereka.
Sebagai contoh, berdasarkan riset penggunaan media sosial, 27% siswa kelas 8 (kelas 2 SMP/ sederajat) berisiko mengalami depresi. Ditemukan juga bahwa anak-anak yang menggunakan ponsel sedikitnya 3 jam sehari berisiko lebih besar melakukan bunuh diri.
Bahkan dalam penelitian lain ditemukan bahwa tingkat bunuh diri remaja di AS saat ini telah melampaui angka pembunuhan, dengan gawai menjadi salah satu penyebab utama.
Lalu, dengan becermin lebih jauh dari para taipan teknologi ini, bagaimana dengan sekolah anak-anak mereka? Faktanya, beberapa sekolah terkemuka di Lembah Silikon, seperti Waldorf School, termasuk berkategori low-tech, atau hanya berteknologi sederhana. Sekolah tersebut masih menggunakan papan tulis dan pensil. Alih alih belajar melakukan coding atau pemrograman, anak-anak malah diutamakan untuk berlatih bekerja sama dan mengembangkan sikap hormat.
Di sekolah lainnya, Bright works School, anak-anak fokus mengembangkan kreativitas, yakni belajar mencipta dan membangun sesuai dengan imanjinasi mereka. Bukannya belajar di ruang kelas dengan
teknologi canggih, anak-anak justru belajar di rumah-rumah pohon.
Lalu bagaimana Steve Jobs mengasuh anak-anaknya? Walter Isaacson, penulis biografi Steve Jobs, bercerita, “Di malam hari Steve dan keluarga makan malam di meja panjang besar di dapur mereka, melakukan diskusi buku, sejarah, serta hal lainnya. Tidak seorang pun pernah mengeluarkan Ipad atau menggunakan komputer. Anak-anak sepertinya tidak kecanduan dengan perangkat [seperti gawai].”
Berdasarkan kisah itu, mengikuti pola pengasuhan Steve Jobs, berarti mesti ada berbagai alternatif kegiatan bagi anak-anak di rumah. Demikian juga, orangtua harus hadir bersama anak-anak sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang hidup dan tentu saja menarik dan menyenangkan.
Hanya saja, kita tahu, tidak semua orangtua mampu berlaku seperti itu. Pertama, dengan posisi sebagai tokoh dan pemimpin perusahan besar, Bill Gates atau Steve Jobs tentu berjuang keras membagi waktu. Walaupun singkat, mereka mempraktikkan apa yang disebut sebagai quality time, memaksimalkan secara bijak detik-detik bersama keluarga.
Kedua, meskipun ada waktu, belum tentu semua orangtua memiliki kemampuan intelektual dan wawasan seperti Steve Jobs atau Bill Gates serta mau melakukannya. Di sini berperan apa yang disebut sebagai educatedness, keterdidikan dalam arti sebenar-benarnya, bukan sekadar pernah bersekolah, berkuliah atau berijazah (kita tahu Steve Jobs dan Bill Gates tidak selesai kuliah sarjana).
Menceraikan gawai
Dalam komplikasi seperti ini, baik di rumah atau di sekolah, apakah pilihan yang lebih baik? Perlukah orangtua benar-benar menceraikan anak dari gawai? Demikian juga, haruskah sekolah secara sembarang melarang anak-anak membawa dan menggunakan gawai?
Pertama-tama, ada baiknya kita belajar dari praktik pendidikan di Singapura. Dalam sebuah video pendidikan yang diproduksi Pearson Education 2012, diceritakan bahwa anak- anak di zaman ini lahir dan hidup dalam dunia berbeda.
Dengan tajuk Singapore’s 21st Century Teaching Strategies, dinyatakan secara jelas betapa anak-anak di Singapura hanya mungkin dijangkau guru (atau orangtua) yang juga menguasai teknologi. Kalau tidak, mereka tak akan diacuhkan.
Di awal video, seorang guru Singapura secara meyakinkan menyatakan betapa sekolah mestilah menjadi tempat yang menyenangkan. Bukannya memusuhi, teknologi justru dijadikan sebagai alat untuk membuat pembelajaran lebih menarik. Ketika murid tertarik dan terlibat, saat itulah belajar betul-betul terjadi.
Ialah tanggung jawab guru-guru, kemudian, mendesain dan melaksanakan pembelajaran berbasis teknologi. Bagi murid, ketika gawai atau komputer telah menjadi bagian dari hidup mereka, pembelajaran yang demikian tidak saja menumbuhkan motivasi, tetapi juga memudahkan penguasaan
konsep maupun keterampilan.
Namun, seperti dinyatakan pejabat pendidikan Singapura, prinsipnya ialah mewujudkan technologically-improved pedagogy, keguruan yang dibuat menjadi lebih baik oleh teknologi. Bukan sebaliknya, yaitu kalau tidak hati-hati, akan terjadi technologically-driven pedagogy, pendidikan yang dikendalikan teknologi.
Seiring dengan apa yang dilakukan di Singapura, gawai dan komputer telah digunakan secara cukup ekstensif di sekolah-sekolah di Finlandia, bahkan sejak sekolah dasar.
Penulis menyaksikan langsung
bagaimana murid-murid belajar belajar menggunakan laptop atau tab berukuran 10 inci dan bukan hanya untuk mata pelalaran teknologi informasi.
Selain asas kemanfaatan, bahwa laptop atau gawai bisa berperan banyak dari buku, penggunaan alat-alat tersebut seiring dengan pembelajaran dalam tradisi Vygotskian. Prinsip utamanya ialah belajar dimulai dari hal-hal yang paling diakrabi, telah diketahui, dan disenangi murid sebagai modalitas.
Selanjutnya, berdasarkan modalitas tersebut, murid belajar lebih jauh sesuai dengan kemampuan capaian mereka. Dalam konsep yang disebut sebagai zone of proximal development (ZPD) ini kemudian dikenal istilah scaffolding; fasilitasi yang membuat murid penasaran sehingga terus berusaha mempelajari atau mencoba sesuatu.
Jika fasilitasi seperti itu dilakukan, dialektika internal dan eksternal pada murid-murid baik terkait dengan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan–lebih mudah terjadi. Kita tahu, jika dialektika terjadi, pengetahuan, sikap, dan keterampilan baru juga lebih mudah didapatkan.
Akhir kata, menyikapi tantangan teknologi informasi saat ini, tentu amat baik jikalau orangtua atau guru sanggup memfasilitasi pengasuhan atau pendidikan yang lebih konstruktif dengan memi nimalkan gawai. Akan tetapi, ketika gawai telah menjadi keseharian anak-anak, menjadikannya sebagai alat belajar dan pengembangan diri juga tidak kalah baiknya.
Khairil Azhar
Divisi Pelatihan Pendidikan
Yayasan Sukma