Pendidikan Moral
TIGA fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan kreativitas, mengembangkan nilai-nilai insaniah dan ilahiah, serta meningkatkan kemampuan kerja produktif dari para peserta didik (Noeng Muhadjir: 2003). Pendidikan tidak sekadar mengembangkan kemampuan otak untuk berpikir, tetapi juga kecerdasan spiritual dan emosional. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa proses pendidikan memberi perhatian tidak hanya nilai-nilai akademik, tetapi juga nilai-nilai sosial dan religius.
Dengan demikian, pendidikan moral tentu saja harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan, di mana pun dan dalam tingkat apa pun. Nilai-nilai moralitas merupakan Conditio Sine Qua Non dari subjek pendidikan dalam bidang apa pun, baik sains dan teknologi maupun sosial humaniora.
Kepentingan dari pendidikan moral tidak lain karena makna esensialnya bagi kehidupan. Ia pada dasarnya adalah pendidikan etika agar peserta didik mampu mengikuti prinsip-prinsip yang baik dalam kehidupan. Konten dari pendidikan ini berupa prinsip-prinsip utama yang dibutuhkan untuk mendukung kelanggengan kehidupan, seperti kejujuran, kebenaran, simpati terhadap kebaikan, dan lain sebagainya. Peserta didik memerlukan ajaran-ajaran kebaikan itu karena dalam menjalani kehidupan, prinsip-prinsip moralitas menjadi alat untuk menjalani kehidupan ini dengan benar sehingga kita semuanya dapat menjadi warga masyarakat yang berperan aktif dalam mendorong kelangsungan kehidupan itu sendiri.
Visi pendidikan
Pendidikan moral itu sejatinya adalah proses pembelajaran yang dengannya peserta didik mampu memahami diri mereka sendiri, dan dunia yang ada di sekitarnya. Moralitas adalah pengetahuan tentang bagaimana berperilaku dalam kehidupan ini, baik dalam konteks lokus maupun tempus tertentu. Jika seseorang hidup tanpa nilai-nilai moralitas, hakikatnya dia akan lenyap dalam kehidupan ini, terlepas dari semua bentuk tatanan dan model kebaikan dan keburukan.
Sebagai salah satu agen perubahan, sekolah tentu saja memiliki peran yang sangat esensial bagi pembangunan nilai moralitas. Melalui sistem kurikulum dan metode pembelajaran yang baik, pendidikan moral yang dilaksanakan dalam lembaga pendidikan dapat menjadi pintu yang sangat kukuh bagi peserta didik mengembangkan kemampuan kecerdasan moralitasnya. Saat masyarakat disesaki dengan berbagai macam bentuk kejahatan, kekerasan, terorisme, hoaks dan ujaran kebencian, pendidikan moral akan mampu menolong peserta didik menghadapi berbagai bentuk kesulitan tanpa harus melepaskan diri dari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Kasih sayang tanpa pamrih, kerja keras, kejujuran, memaafkan kesalahan orang, dan sifat-sifat kebaikan lainnya yang menancap dalam relung hati peserta didik akan dengan sendirinya menjadi faktor pengubah bagi dunia ini menjadi tempat yang nyaman untuk menopang kehidupan masyarakat.
Bab II Pasal 3 dari UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Sementara itu, Pasal 1 UU tersebut menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Dapat kita pahami karenanya bahwa garis besar dari tujuan pendidikan nasional selain mencerdaskan, juga menciptakan karakter peserta didik yang beriman, mandiri, dan berakhlak mulia. Pendidikan moral dengan demikian sangat signifikan bagi arah dan cita pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.
Substansi
Tidak ayal lagi bahwa fondasi terkuat dari bangunan masyarakat adalah individu yang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas yang baik. Semakin kuat nilai-nilai moral seseorang, akan beresonansi kepada bangunan masyarakat yang semakin kuat juga. Karena itulah, sangat penting untuk sejak dini kita rumuskan substansi nilai-nilai dan ajaran moral yang bagaimanakah yang diperlukan dalam usaha kita memenuhi amanat UU Sisdiknas. Beberapa nilai moral di bawah ini sekadar memberikan contoh dari berbagai nilai moral yang kita perlukan.
Pertama, kejujuran (truthfulness). Pada tingkat yang paling dasar, kejujuran berarti ‘berbicara kebenaran’. Berbicara tentang kebenaran dalam makna yang kita ketahui pada setiap saat dan dalam segala situasi. Tidak ada pengecualian untuk berbicara kebenaran ini dan tidak ada hitam dan putih di dalamnya, yang ada hanya kebenaran. Namun, ini belum berarti final karena yang melekat pada kebenaran adalah keinginan kita untuk mencari kebenaran. Apatah manfaatnya berbicara kebenaran jika apa yang kita ucapkan tidak benar. Sebagai contoh, jika kita mengatakan bahwa ‘pria lebih unggul dari wanita’ dan kita percaya, berarti kita berbicara tentang kebenaran seperti yang kita ketahui. Namun, pernyataan ini tentu saja tidak benar dan tidak ada manfaat yang bisa didapat darinya, baik untuk kita sendiri maupun masyarakat.
Dengan demikian, tentang kejujuran ini kita harus menjadi pencari kebenaran untuk menjadi jujur, tidak sekadar jujur dalam arti tidak berbohong. Dengan nilai moralitas ini, berbagai bentuk kebohongan harus dipahamkan kepada peserta didik. Tindakan seperti menyontek, berkata bohong, melakukan dan menyebarkan berita hoaks, dan sebagainya harus sejak dini dipahamkan sebagai tindakan ketidakbenaran yang harus dihindari.
Kedua, keadilan (justice). Kualitas moral penting lainnya adalah keadilan. Konsep lain yang terkait dengan kualitas ini adalah kejujuran (fairness), kesejajaran (equality) dan kesetaraan (equity). Kita harus benar-benar adil dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagai contoh jika seorang guru tidak berbuat adil kepada semua siswanya, tentu ia tak akan mampu membantu setiap siswa untuk bertumbuh-kembang sesuai dengan potensi masing-masing. Dalam masyarakat, keadilan berarti bahwa setiap orang dapat menikmati hak asasinya yang mendasar. Setiap individu memiliki hak atas pendidikan yang sama disesuaikan dengan hasrat dan kemampuannya. Karenanya, tidak sepatutnya ada perbedaan dalam pendidikan untuk masyarakat pedesaan dan perkotaan ataupun untuk yang kaya dan miskin. Keadilan juga berarti, keadilan dalam cara bagaimana sumber daya dapat digunakan dan bagaimana kekayaan itu didistribusikan. Tiap-tiap individu harus mampu bertindak sesuai keadilan, tidak dipengaruhi oleh sikap masyarakat memperlakukan kita. Jika ketidakadilan menimpa kita, kita tetap harus mampu menemukan cara untuk mendapatkan keadilan. Ketika menuntut keadilan, kita juga harus memenuhi tanggung jawab untuk memperjuangkan keadilan bagi orang lain.
Ketiga, cinta dan kasih sayang (love). Cinta adalah kekuatan yang mengikat masyarakat bersama. Namun sayangnya, cinta juga merupakan konsep yang paling banyak disalahgunakan. Ia telah disamakan dengan nafsu dan dan hasrat seksualitas. Hal ini karena cinta terlalu diartikan sebagai ungkapan yang sangat maskulin sifatnya.
Demikian pula, cinta adalah kemampuan mendasar yang harus kita miliki dalam kehidupan keseharian. Dalam melakukan interaksi sosial, kita tidak dapat mencintai sebagian dan bukan yang lain. Pasalnya, jika demikian, ada kepentingan pribadi dan keegoisan dalam hubungan kita. Jika mencintai, kita juga harus sabar, pemaaf, dan murah hati terhadap mereka yang kita cintai. Cinta kepada masyarakat tidak boleh dilawan dengan cinta terhadap negara, dan cinta untuk negara tak boleh bertentangan dengan cinta untuk kemanusiaan secara keseluruhan.
Dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral di atas, dapat dipahami bahwa tidak mungkin ada spiritualitas tanpa ada moralitas. Agama di sini hakikatnya adalah guru untuk mengajari kita memiliki kecerdasan moralitas yang tinggi dalam menjalani kehidupan di alam fana ini.
Penulis: Ratno Lukito Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
Pada: Senin, 18 Mar 2019, 09:40 WIB