Pendidikan Politik dan Militansi
MILITANSI tak mesti selalu dimaknai bertubuh dan berwajah jahat. Ada militansi yang tidak bersandar pada kekerasan, perang atau terorisme. Kelompok Militan Trotsky, umpamanya, yang lahir di Inggris pada 1935, menganut prinsip nirkekerasan. Mereka menerbitkan surat kabar, dan datang dengan resolusi dalam rapat-rapat politik.
Militansi memang kata yang menandakan semangat menggelegak dan laku ekstrem dalam mencapai tujuan. Militansi bisa menjadi hulu dari tindakan politik konfrontatif dan agresif. Berasal dari kata Latin abad ke-15 ‘militare’, militansi berarti kesetiaan ‘mengabdi layaknya seorang tentara”. Ketika sejarah cenderung diwarnai berbagai wajah buruk militansi, penggiat demokrasi juga akrab dengan apa yang disebut sebagai demokrasi militan. Militansi diperlukan karena demokrasi tak begitu saja menjamin warga sebuah negara menikmati keadilan.
Demokrasi militan atau militansi berdemokrasi ialah tameng. Ia penting terutama karena dimungkinkannya kelompok-kelompok yang sejatinya antidemokrasi mengembangkan diri, yang ketika sudah kuat bisa merebut kekuasaan dengan cara-cara demokratis. Militansi, oleh karena itu, selain untuk menjaga keberlangsungan praktik demokrasi, diperlukan untuk memastikan pembaruan konseptual terus-menerus.
Dalam politik praktis, parpol juga dengan berbagai cara mencari dan mendidik kaderkader militan. Militansi, diukur dengan loyalitas, kerja keras, bahkan kepatuhan. Alasan utama, supaya mesin-mesin partai bergerak dan kekuasaan dalam genggaman. Ketika militansi dibutuhkan dalam menegakkan dan mengurus demokrasi, bagaimanakah ia bisa dibangun dan dikembangkan? Jika pilihannya ialah sebuah pendidikan politik, bangunan konsep seperti apa yang patut dan layak dan pedagogi macam apa yang bisa menjamin, militansi tidak menjadi racun bagi demokrasi?
Control belief dan indoktrinasi
Militansi dalam konteks politik pertama-tama bersifat ideologis. Kelompok militan Trotskian di Inggris, sebagai contoh, memperjuangkan ‘demokrasi’ sosialis. Para militan Ikhwan al-Muslimin, baik di Mesir maupun dalam berbagai bentuk metamorfosisnya di belahan dunia lain, bersandar pada tafsir politikal atas Islam.
Singkat kata, sebagai wujud dari kesediaan berpikir dan berlaku penuh semangat dan ekstrem, militansi bermula dari keyakinan yang menubuh. Militansi berhulu pada keimanan terhadap gagasan yang dipercaya sebagai kebenaran.
Jika belajar dari kasus-kasus radikalisme dan terorisme, iman yang berlumur kebencian umumnya ialah hasil ‘implantasi’ ideologis. Dalam proses yang disebut sebagai indoktrinasi ini, Charlene Tan (2011) mencatat bahwa keyakinan yang ditanamkan biasanya berbentuk ideologi totalistik, yakni konsepsi kebenaran tunggal dan menyeluruh yang mendasari pikiran, sikap, dan perilaku.
Iman ini, pertama-tama, secara sempit membatasi wawasan berpikir dalam rentang ‘kita’ dan ‘yang lain’, ‘kami’ dan ‘mereka’. Indoktrinasi yang dilakukan mengandaikan ‘yang lain’ itu salah, tidak patut, dan perlu ditundukkan, dijinakkan, atau diberangus. Toleransi atau demokrasi, jika tak ada pilihan lain, ialah alat merebut kuasa.
Ketika ikatan emosional terkuat dengan pemimpin sesama anggota kelompok, kebencian, dan permusuhan memusat pada siapa pun yang ditengarai sebagai ‘yang lain’ itu. Dalam rangka mempertahankan keyakinan yang sempit, tindakan-tindakan sosial maupun politikal digerakkan pikiran dan sikap yang destruktif.
Meskipun bisa saja berwajah lebih lunak, atau indoktrinasi dilakukan sebagai cara untuk mengimplantasi konten-konten demokrasi, indoktrinasi, sejatinya ialah praktik pendidikan dengan pembatasan dan keterbatasan. Praktik indoktrinasi menunjukkan bahwa kebenaran sering kali terbatas pada kata-kata pemimpin atau ideologi yang tertulis dalamteks-teks yang disakralkan. Peluang untuk berbeda, atau bahkan sekadar untuk menafsir, sebisa mungkin tidak diperkenankan.
Indoktrinasi, oleh karena itu, berlawanan dengan demokrasi . Sebagai alat dan cara pendidikan, ia tak bisa dikatakan demokratis. Ketika demokrasi mengandaikan kesetaraan, indoktrinasi menghendaki kepatuhan mutlak yang memasung akal sehat. Kalaupun dipergunakan, rasionalitas secara terbatas hanya untuk membenarkan, mewujudkan, dan membela ideologi.
Militansi dan sivistys Meskipun mungkin tak terlihat gagah dan instan, terutama di mata ideolog atau demagog, pendidikan politik yang tepat dan wajar tetaplah yang bertumpu pada demokrasi, akal sehat, dan kemanusiaan. Jika militansi diandaikan bersandar pada adanya control beliefs, pendidikan politik yang demokratis bisa mengambil nilai-nilai moral, baik yang berlaku lokal maupun universal.
Dalam hal ini, ada baiknya jika kita sedikit belajar dari Finlandia. Di negara yang menerapkan wajib militer ini, ada konsep yang disebut sivistys, tafsir atas konsep Jerman ‘Bildung’, yang secara harfi ah berarti pembentukan atau pembangunan.
Pendidikan, dalam konsep ini, adalah proses pembentukan diri secara utuh, di mana pengetahuan, sikap, dan perilaku dibangun dalam konteks kehidupan sosiokultural. Pendidikan hanya mungkin jika mengandaikan kemutlakan rasionalitas dan demokrasi. Pertama-tama, pendidikan adalah proses belajar bertujuan setiap warga negara bisa masuk dan berinteraksi wajar dalam konteks kultural. Proses ini utamanya difasilitasi lembagalembaga pendidikan formal.
Namun, ketika pendidikan diyakini sebagai dialektika tanpa henti, proses ‘menjadi’ individu tidak berhenti pada keterterimaan secara sosio-kultural. Proses belajar dan kegiatan-kegiatan kependidikan mesti membuat individu mampu bertransen densi, berkembang melampaui kriteria minimal yang ditetapkan kurikulum.
Pada tahap akhir, sivistys mensyaratkan terbangunnya semacam militansi sosial, yakni ketika berkembangnya kompetensi individu untuk memberi pengaruh kehidupan publik. Secara bermartabat dan ilmiah, tahap ini mengandaikan kapasitas individu yang sanggup berpartisipasi bagi perkembangan kultural, kesejahteraan publik, dan politik.
Militansi dalam sivistys, bisa disimpulkan, ialah konsekuensi logis dari proses pendidikan, formal maupun sosial. Militansi adalah produk dari dialektika berbasis akal sehat antara individu dan lingkungan sosial, apa yang dipelajari, dan aktivitas kehidupan.
Jika dibandingkan dengan indoktrinasi, sivistys lebih dekat dengan fakta pendidikan politik yang berkembang di negara maju saat ini. Militansi sosial dan berdemokrasi tumbuh bukan karena kepatuhan pada doktrin politik. Sebaliknya, prinsip demokrasi dipahami, diterima, dan dikelola menggunakan rasionalitas karena pendidikan. Ini juga menjelaskan kenapa hasil indoktrinasi dengan mudah bisa mengalami kedaluwarsa, yakni ketika terjadi disengagement antara individu dengan ideologi totalistik yang diindoktrinasikan. Militansi tanpa rasionalitas perlu motivasi eksternal terus-menerus, dengan insentif atau tindakan koersif.
Itu mungkin sebabnya, seperti di Finlandia atau negara maju lainnya, para politikus ‘terpaksa’ secara militan mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membiayai kerja-kerja politiknya. Pendidikan politik yang sehat mengantarkan mereka pada kesadaran bahwa politisi bekerja melayani rakyat dan harus dibiayai rakyat.
Sebagai catatan, ini boleh jadi tidak ‘seksi’ bagi banyak politisi di RI, apalagi bagi demagog yang berharap kultusindividu dan cara cepat meraih kekuasaan. Namun, kita tahu, pendidikan yang wajar utamanya bersandar proses, bahwa ‘Roma tak dibangun dalam satu hari’.
Khairil Azhar, Staf Pengajar Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem