Pengaruh Sahabat Virtual
BAGI manusia sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan pertemanan terasa sangat dominan. Pola persahabatan telah mengalami perubahan dalam format yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Di era digital, pertemanan semakin dimanjakan berbagai platform jejaring sosial. Penggunaan media sosial telah menjadi gaya hidup. Luasnya pergaulan generasi milenial, yang tidak lagi dibatasi ruang dan waktu, membuka peluang untuk dapat menyerap energi positif lebih besar atau, jika kurang beruntung, mendapatkan pengaruh negatif dari segala penjuru mata angin.
Kini, jika seseorang tidak masuk jejaring sosial, ada perasaan tidak ‘eksis’. Dalam satu platform jejaring sosial, individu dapat memiliki ratusan bahkan ribuan sahabat. Meskipun terdapat kekhawatiran tentang berkurangnya privasi, hacking, dan kemungkinan penyalahgunaan informasi pribadi oleh penyedia jasa layanan jejaring sosial untuk tujuan bisnis, tampaknya banyak orang tetap nyaman untuk terus hidup di dunia maya. Sahabat pena, persahabatan jarak jauh yang dilakukan dengan surat-menyurat, sekarang telah mengalami metamorfosis menjadi Whatsapp, Twitter, Youtube, Facebook, Instagram, dll.
Pengaruh interaksi virtual
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejumlah pakar psikologi, setidaknya terdapat lima hal penting yang memengaruhi perilaku sosial kita dalam realitas virtual (Prajapati: 2018). Pertama, kemampuan manusia untuk menaksir kesadaran orang lain. Orang memiliki kecenderungan untuk menganalisis, atau membuat atribusi tentang keadaan psikologis individu lain, seperti keyakinan, niat, sikap, motivasi, pengetahuan dan identitas. Kesimpulan itu kemudian menjadi semacam ‘teori dalam pikiran’ dan menentukan bagaimana koneksi sosial selanjutnya bermain dalam realitas sesungguhnya.
Kedua, ekspresi nonverbal. Pemanfaatan gestur dan aktivitas nonverbal sangat penting dalam interaksi sosial. Dalam realitas virtual, perilaku nonverbal sangat menentukan. Korespondensi nonverbal dipengaruhi tiga faktor, (1) realisme gerakan (postur, gestur, dan penampilan), (2) realitas antropometri (kualitas bagian tubuh yang dapat dikenali), dan (3) keaslian fotografi (seberapa banyak gambar menyerupai manusia nyata), meskipun secara teknis, tidak mudah untuk mewujudkan semua itu dengan sempurna.
Ketiga, sistem respons manusia. Manakala seseorang percaya, representasi merupakan agen, kejutan yang diberikan kepadanya berupa pukulan virtual akan menyebabkan orang tersebut menunjukkan respons ‘kaget’. Sama seperti ketika pukulan diberikan di dunia nyata. Hal itu terjadi karena respons kejut itu tidak disadari dan akibatnya kita tidak berhenti berpikir bahwa pukul an virtual sebenarnya tidak berbahaya. Sementara itu, jika stimulus itu lebih kompleks daripada sekadar pukulan yang ‘mengagetkan’, agen mungkin tidak begitu sukses memengaruhi perilaku. Proses-proses tak sadar menyiratkan pentingnya peristiwa virtual memengaruhi respons manusia.
Keempat, relevansi diri. Penting disadari, tingkat keterpengaruhan diri dari interaksi sosial yang dilakukan secara virtual bervariasi dari orang ke orang, sebagai fungsi dari pengalaman masa lalu, kepribadian, dan temperamen masing-masing. Pada pribadi yang permisif, misalnya, interaksi virtual benar-benar dapat menyeret yang bersangkutan ke dalam ‘ideologi’ kelompok virtual yang dimasuki. Sementara itu, untuk mereka yang telah memiliki kemantapan identitas, keterlibatan dalam komunitas virtual tidak otomatis mengubah kepribadian mereka yang telah mapan. Terdapat semacam filter dari nalar kritis yang dimiliki individu, terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar.
Kelima, konteks. Perilaku masyarakat sangat ditentukan konteks tempat mereka berada. Respons kita terhadap pertanyaan yang sama mungkin saja berbeda, ketika berada dalam konteks yang tidak sama. Misalnya pertanyaan sederhana, ‘bagaimana perasaanmu?’ dapat menghasilkan respons yang berbeda ketika diajukan di pesta ulang tahun dan di permakaman. Di sisi lain, konteks media sosial membawa satu set norma-norma dan harapan yang berbeda pula. Di dunia maya, tidak sedikit orang yang terjebak pada ketidakjujuran sahabat virtualnya. Mereka menampilkan foto diri yang tidak sebenarnya, dan dalam konteks yang direkayasa.
Realitas virtual memang memberikan tantangan yang tidak sederhana bagi orang-orang yang menciptakan simulasi dan menghabiskan banyak waktu menggunakannya. Untuk itu, dibutuhkan pengetahuan dasar yang memadai tentang bagaimana orang berinteraksi sosial satu sama lain di dunia maya. Siapa pun tetap harus berhati-hati dan selalu mempertimbangkan kuatnya pengaruh sosial dari realitas virtual. Lima hal menyangkut interaksi sosial dalam realitas virtual yang telah diuraikan di atas penting diperhatikan bagi siapa saja yang hendak mempelajari perilaku manusia di tahun-tahun mendatang
Pengaruh teman sebaya
Teman sebaya adalah kelompok sahabat yang seumuran dan mempunyai kelompok sosial yang sama, seperti teman sekolah, teman bermain, atau teman sekerja. Teman sebaya (peers) memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Interaksi antar teman sebaya memiliki peran yang unik. Salah satu fungsi penting dari kelompok teman sebaya ialah menyediakan berbagai informasi tentang dunia di luar keluarga. Dari teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan diri.
Dari sahabat, remaja belajar tentang apakah yang dilakukan itu lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk daripada apa yang dilakukan teman-temannya. Melalui interaksi dengan teman sebaya, baik langsung maupun secara virtual, remaja mempelajari pola hubungan timbal balik dan setara. Mereka mencoba menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan teman sebaya. Mereka juga belajar mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya, dengan maksud untuk memudahkan proses penyatuan diri mereka ke dalam aktivitas teman sebaya.
Pengaruh teman sebaya dapat bersifat positif dan negatif. Tekanan teman sebaya terjadi ketika remaja melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan, hanya agar merasa diterima dan dihargai teman-teman. Dalam banyak kasus, yang terkadang tidak mudah dilakukan remaja ialah menjaga keseimbangan yang tepat antara menjadi diri sendiri dan cocok dengan dinamika kelompoknya.
Di sini diperlukan bantuan orangtua dan guru. Jika kita memiliki hubungan yang positif dengan mereka, anak dengan lebih mudah akan berbicara dari hati ke hati dengan kita, manakala dirasa ada pengaruh negatif teman sebaya.
Menjadi diri sendiri harus terus didorong, di tengah menguatnya pengaruh sahabat virtual. Jika dahulu orangtua hampir dapat mengenali teman dekat anak-anak mereka, kini hal itu sulit terjadi.
Mata orangtua hampir dapat dipastikan tidak dapat menjangkau seluruh sahabat virtual anak-anak mereka. Oleh karena itu, hubungan interpersonal yang penuh rasa percaya satu sama lain menjadi semakin penting. Ajari anak bagaimana menjalin persahabatan, dan mengembangkan jejaring sosial, tanpa harus mengorbankan jati dirinya sebagai pribadi yang merdeka dan bertanggung jawab.
Calak Edu : Khoiruddin Bashori (Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma)
*Artikel ini sudah dimuat di Media Indonesia, tanggal 12/10/2020