Penilaian dan Analisis Kurikulum
DALAM satu bulan terakhir peserta didik kelas 12 sekolah menengah atas (SMA) mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan try-out ujian nasional (UN) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri, yang sekarang disebut dengan ujian tulis berbasis Komputer (UTBK). UN dijadwalkan akan diselenggarakan April mendatang, sedangkan UTBK tahap pertama akan berlangsung pada Maret.
Disebutkan, materi yang diujikan akan mencakup soal-soal dengan kategori high-order thinking skills (HOTS), yaitu soal-soal yang diasumsikan akan mampu menggambarkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis, analitis, menafsirkan, dan menguji (bukti/fakta).
Dalam bahasa sederhananya ialah rumusan pertanyaan soal-soal/tugas (pada soal uraian) diawali dengan menggunakan kata tanya; ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’; bukan hanya sekadar menanyakan tentang ‘apa’ dan ‘siapa’.
Terminologi HOTS ini sekarang sudah menjadi trending topic di sekolah-sekolah dan bahkan dianggap identik dengan Kurikulum 2013. Pemahaman semacam ini tentu saja keliru (misleading).
Dikhawatirkan melalui pemahaman semacam ini, pengembangan soal-soal tes ke depan akan hanya berfokus pada keterampilan proses (thinking skills); sedangkan unsur-unsur lain dalam kurikulum, seperti; content areas, yang berhubungan dengan content representativeness and relevance akan dikesampingkan atau setidaknya perannya diperkecil.
Jika keadaan ini terjadi, dapat memengaruhi validitas atau interpretasi skor (hasil tes) dikaitkan dengan tujuan diselenggarakannya penilaian. Kondisi semacam ini dalam disiplin pengukuran pendidikan disebut sebagai ancaman (threat) terhadap validitas.
Banyak definisi tentang validitas tes. Namun, hampir semua menjelaskan bahwa tes yang valid mengukur apa yang hendak diukur (Allen dan Yen: 1979). Menurut Standard for Educational and Psychological Test (1985), konsep validitas mengacu pada ketepatan, keberartian, dan kegunaan, inferensi yang dibuat dari suatu skor (Mardapi: 1994).
Dalam kaitan dengan UN, yang hendak diukur itu ialah pencapaian/pengusaan siswa terhadap hasil pembelajaran selama kurun waktu tertentu dengan mengacu pada sebuah kurikulum yang berlaku/digunakan.
Analisis kurikulum
Kurikulum 2013 ialah kurikulum resmi yang digunakan di sekolah-sekolah negeri dan swasta di seluruh Tanah Air, termasuk sekolah-sekolah Indonesia yang berada di luar negeri (SILN). Karena Kurikulum 2013 merupakan pedoman resmi kegiatan pembelajaran, langkah awal yang harus dilakukan pengembang soal-soal ujian nasional ialah melakukan analisis terhadap kurikulum ini.
Pengembang soal-soal tes mengawali pekerjaan dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran, domain skills, konten atau topik-topik pembelajaran yang layak untuk digunakan pada sebuah aktivitas penilaian/tes. Dari hasil analisis kurikulum ini, disusun sebuah kisi-kisi tes (table of test specification), yang isinya menjelaskan tentang tujuan penilaian, domain skills, topik-topik (content areas), jumlah soal, dan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal-soal dimaksud.
Terkait dengan kurikulum, content-representativeness and relevance penting untuk diteliti sekaligus memastikan konten/topik-topik yang terpilih guna dijadikan soal-soal tes, memang merupakan topik-topik yang penting dan esensial yang terdapat pada kurikulum.
Analisis konten dan domain/thinking skills juga perlu dilakukan untuk mengecek kedalaman (indepthness), otentitas, dan keterpakaian/kegunaannya pada kehidupan nyata (real life situation). Sementara itu, domain skills atau thinking process and skills represented, dianalisis untuk mengetahui apakah soal-soal yang disusun menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher level of thinking skills) dari peserta tes didik agar dapat menyelesaikannya.
Soal-soal semacam ini juga harus dapat dibandingkan dengan situasi nyata dalam kelas yang pernah dialami peserta didik sebelumnya. Jangan sampai terjadi soal-soal yang dikategorikan sebagai HOTS itu, ternyata sudah sering dilatihkan/digunakan pada kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Setiap soal/tugas (pada soal uraian) yg dipilih hendaklah dinilai berdasarkan signifikansi, otentisitas, kesesuaian, keterbacaan, dan kemanfaatan (pada aktivitas kehidupan nyata).
Untuk melakukan kedua analisis; content-representativeness and relevance dan thinking process and skills represented, penting untuk melibatkan ahli kurikulum dan guru-guru yang berpengalaman mengajar mata pelajaran yang sama (subjects specialists). Namun, guru-guru tersebut harus berasal dari lingkungan sekolah yang berbeda.
Sebelum perangkat tes digunakan, pengembang tes juga perlu untuk mendapatkan informasi penting lainnya tentang soal-soal tes, terutama yang terkait dengan indeks validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran soal, dan daya pembeda melalui serangkaian kegiatan uji coba. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah test fairness.
Sebuah alat tes hendaklah dapat berlaku adil terhadap setiap peserta didik yang menempuh tes tersebut. Karenanya, dalam mengembangkan soal-soal tes perlu kehati-hatian agar hasilnya dapat ditafsirkan sama oleh seluruh peserta didik, meskipun mereka berasal dari latar belakang budaya dan pengalaman belajar yang berbeda.
Analisis terhadap prinsip test fairness ini dapat dilakukan selain secara kualitatif, juga melalui analisis kuantitatif dengan menggunakan model difference item functioning (DIF) guna mendeteksi soal-soal yang bias.
Pengembangan soal tes
Beberapa prinsip harus menjadi perhatian dalam mengembangkan soal-soal tes, antara lain; pertama, mengidentifikasi tujuan yang terdapat pada kurikulum. Tujuan (objective) yang terpilih hendaklah yang esensial dan penting, yang kelak dapat digunakan peserta didik apabila mereka melanjutkan karir pendidikan pada jenjang lebih tinggi atau bekerja.
Kedua, rumusan soal tes hendaklah terang dan jelas sehingga terhindar dari penafsiran ganda atau berpotensi bias.
Ketiga, jika menggunakan soal uraian, pemeriksa hasil tes (raters) haruslah dilatih terlebih dahulu, dan raters yang digunakan sedapat mungkin berjumlah gasal. Pelatihan perlu dilakukan sebelum mereka bekerja agar diperoleh prosedur sama dan terstandar dalam menyekor/menilai hasil pekerjaan peserta didik.
Keempat, pada soal-soal uraian, inter-raters reliability perlu dicek, tetapi dipandang belum memadai. Oleh karena itu, kajian tentang relibilitas instrumen juga perlu dilakuan. Wallahualam.
Penulis: Syamsir Alam Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma
Pada: Senin, 04 Mar 2019, 07:30 WIB