Perdamaian Positif
PERJUANGAN dan pengabdian Husne Ahmed (Husne Ara Parvin/Husna Ahmed) sebagai istri terhenti saat peluru memberondong tubuhnya di salah satu sudut Masjid Al-Noor, Christchurch, Selandia Baru. Namun, semangat memikirkan orang lain dan kerinduan akan dunia yang damai dan lebih baik terus berlanjut.
Brenton Tarrant–korban perundungan di masa sekolah karena bentuk badannya–si pengecut penuh kebencian yang membunuh 50 orang di hari penuh teror itu, tak berhasil memadamkan solidaritas, perayaan akan perbedaan, dan mimpi besar akan perdamaian.
Aksi Husne kemudian menjadi inspirasi keberanian dan magnet simpati. Ditambah, kerelaan Farid Uddin Ahmed–sang suami–untuk memaafkan sang pembunuh, memberi harapan bahwa semangat perdamaian masih layak diperjuangkan.
Sesudahnya, dunia serentak menyatakan diri bersama Husne dan korban lainnya. Mereka menyalakan lilin, meletakkan bunga, menulis pesan, berdoa, dan menari Haka. Semua itu seakan menjadi penanda bahwa kekerasan dan teror harus disudahi karena tidak akan membuat dunia ini menjadi lebih baik. Berharap bahwa perdamaian masih lebih baik daripada menyemai kebencian yang selalu menghasilkan korban.
Kebencian dan teror hanya meninggalkan luka dan kepedihan bagi para korbannya, melahirkan kekerasan baru yang mungkin sulit diputuskan. Sementara itu, semangat perdamaianlah yang membuat dunia ini akan selalu menjadi tempat yang lebih layak untuk ditinggali.
Pendidikan damai
Dalam konteks pendidikan, bagaimana perdamaian bisa dimulai, diupayakan, dan dikembangkan di sekolah? Kebanyakan sekolah/lembaga pendidikan di Indonesia, kurikulum pendidikan damai bukan menjadi perhatian utama.
Hanya sedikit sekolah di Indonesia yang menempatkan pengetahuan dan keterampilan perdamaian sebagai bagian dari proses pembelajaran mereka. Jika pun ada, upaya untuk mengembangkan pendidikan damai dilakukan melalui muatan yang disisipkan dalam kurikulum yang berlaku.
Sedikitnya, sekolah yang tertarik pada pengembangan pendidikan damai bisa jadi berawal dari cara memaknai perdamaian itu sendiri. Meminjam istilah Johan Galtung (1975), bapak ilmu perdamaian dari Norwegia, kebanyakan orang mengartikan ‘perdamaian’ sebagai ‘sebuah keadaan tiadanya perang’.
Sebuah istilah yang oleh Galtung disebut sebagai negative peace, keadaan tiadanya hal-hal yang dipandang sebagai ‘negatif’ yang mengancam upaya mewujudkan perdamaian, seperti perang/konflik.
Padahal, perdamaian lebih bermakna jika dimaknai sebagai perdamaian positif, yaitu sebuah keadaan lebih dari sekadar tiadanya perang/konflik. Namun, juga terwujudnya suasana tanpa praktik kekerasan dalam bentuk apa pun yang berbasis keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Perdamaian yang positif selalu berkaitan dengan sikap, institusi, dan struktur yang menghasilkan dan menjamin perdamaian yang berkelanjutan (IEP, Positive Peace Report 2018).
Kebanyakan sekolah/institusi pendidikan menganggap atau merasa telah memiliki atau dalam keadaan yang ‘damai’ saat tidak atau jarang ditemukan praktik kekerasan fisik kasatmata, seperti perkelahian, tawuran, pemalakan, pemukulan, atau tindakan perundungan dengan kekerasan fisik. Jadi, upaya mengembangkan benih prinsip-prinsip perdamaian sesungguhnya tidak dianggap sebagai kebutuhan yang penting untuk dilakukan.
Memang, sekolah tampak ‘adem ayem’ tanpa konflik, perselisihan, atau kekerasan fisik. Namun, proses belajar di kelas bisa saja menjadi saat mencekam, relasi antarentitas sekolah hanya berbasis rutinitas tanpa makna. Tidak ada jaminan dan penghargaan atas hak murid, guru, dan karyawan sekolah serta lingkungan sekolah bukanlah lingkungan positif yang memungkinkan semua potensi dapat berkembang.
Empat pilar
Memupuk dan mengembangkan benih perdamaian positif penting untuk dilakukan di sekolah dan semestinya menjadi kebutuhan utama pendidikan. Perdamaian positif dapat diwujudkan di sekolah dengan memastikan empat hal berikut terjadi. Pertama, sekolah berfungsi dengan baik atau berjalan dengan efektif.
Hal ini berkaitan dengan manajemen/kepemimpinan sekolah yang kuat dan berkualitas, ekspektasi yang tinggi baik dari guru maupun murid. Selain itu, perhatian akan perkembangan dan pencapaian siswa, visi dan misi sekolah yang jelas (termasuk orientasi pada hasil/tujuan yang telah ditetapkan), dan suasana sekolah yang menjamin rasa aman dan nyaman bagi entitas sekolah (Sadker dan Zittleman: 2010).
Kedua, relasi yang sehat dan berkualitas di antara entitas sekolah. Hal itu berkaitan dengan pemahaman dan penghargaan terhadap hak dan kewajiban masing-masing yang dibangun lebih atas dasar kerja sama dan bukan kompetisi.
Kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menghargai hak dan kewajiban bisa jadi muncul dari kerelaan tiap-tiap pelaku pendidikan, tetapi juga dapat diperkuat dan didasarkan pada aturan main yang jelas dan dibicarakan bersama.
Ketiga, upaya pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan tentang perdamaian. Komitmen untuk mengembangkan pendidikan perdamiaan dapat dimuai dengan menegaskan kebutuhan akan informasi dan keterampilan yang lebih baik tentang pendidikan perdamaian.
Memasukkan pengetahuan dan keterampilan tentang mediasi konflik sebagai salah satu hal wajib yang dikuasai guru dan murid misalnya, bisa menjadi salah satu bagian dari pengembangan pendidikan perdamaian di sekolah.
Prinsip manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) ialah salah satu cara untuk membangun kapasitas sekolah dalam pengembangan perdamaian positif di sekolah. Pengetahuan dan keterampilan akan kelas yang damai, sekolah yang damai, prinsip-prinsip nirkekerasan, mediasi sejawat, dan resolusi konflik akan menjadi faktor kunci dalam mewujudkan perdamaian positif di sekolah.
Keempat, kepercayaan dan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam seluruh kegiatan di sekolah. Pengelolaan sekolah yang demokratis–dalam arti luas–cenderung akan mendorong munculnya inisiatif dan rasa memiliki, yang berujung pada terciptanya suasana damai yang sesungguhnya di sekolah.
Keempat hal di atas dapat menjadi pilar perdamaian positif di sekolah. Sekolah tidak menjadi tempat untuk menghasilkan orang yang percaya pada kekerasan sebagai jawaban atas semua persoalan. Sekolah menjadi tempat semangat menghargai perbedaan, solidaritas, kerelaan, penyelesaian perbedaan dengan cara yang lebih beradab dan nirkekerasan bisa disepakati dan ditularkan.
Upaya itu setidaknya akan membuat pengorbanan yang dilakukan Husne dan Farid Ahmed, juga banyak korban kekerasan, kebencian, dan terorisme lainnya, tidak sia-sia dan lebih bermakna. Sudah saatnya pendidikan damai menjadi agenda utama di sekolah-sekolah kita.
Penulis: Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Pada: Senin, 25 Mar 2019