Perjalanan Class Visit Kelas X: Belajar Kearifan Lokal Melalui Home Industry Aceh
Aktivitas pembelajaran di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe tidak hanya terbatas di sebuah ruang kelas. Berangkat dari salah satu program guru, class visit merupakan salah satu bentuk kegiatan pembelajaran yang sangat dinantikan siswa. Class visit atau ‘kunjungan kelas’ adalah program yang dirancang guru mata pelajaran untuk memberikan pengalaman pembelajaran yang kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat diciptakan melalui ruang kelas yang terkait dengan kehidupan nyata siswa.
Rabu pagi, 6 November 2024, seluruh siswa kelas X SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe yang berjumlah 128 orang ditemani lima orang guru mengawali keberangkatannya ke sekolah dengan penuh semangat. Kelas-kelas yang berpartisipasi dalam pengalaman belajar yang luar biasa ini adalah: X-Museo Cerralbo, X-De Cluny, X-State Hermitage, X-Lumieres, dan X-Victoria and Albert. Para wali kelas sekaligus pengampu guru bidang studi Matematika, Kimia, Biologi, Sosiologi, dan Bahasa Indonesia berperan penuh sebagai penanggung jawab selama kegiatan berlangsung.
Sesuai dengan capaian pembelajaran dari beberapa mata pelajaran terkait, guru mengajak siswa untuk memperoleh pengalaman belajar dari home industry yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen. Perjalanan menggunakan lima bus yang dimulai sekitar pukul 08.20 WIB ini mengantarkan pada destinasi pertama, yaitu Pabrik Batu Bata yang berlokasi di Desa Ulee Reuleung, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Anak-anak mulai tertib pada barisan kelompok yang telah dibagikan oleh wali kelas. Pemandangan yang disuguhkan pertama kali kepada siswa adalah aktivitas kesibukan bapak paruh baya dan beberapa pemuda yang sedang berada di tempat pembakaran batu bata.
Berbelok ke sudut kiri area pabrik, Bu Rahmi, mempersilakan siswa untuk mencoba mencetak batu bata. Tak hanya sibuk mengamati, siswa juga diminta untuk melakukan interaksi langsung kepada para pekerja setempat untuk menggali beberapa informasi, seperti: menjelaskan objek yang diamati; menceritakan proses pengolahan dan manfaat dari objek yang diamati; serta tak lengkap jika mengulik tentang home industry tanpa mengajak siswa mencari tahu modal serta keuntungan yang diperoleh. Catatan pembelajaran dari tiap kelompok siswa dilaporkan pada sebuah laman Padlet yang telah disiapkan guru.
Pada proses pembakaran, Bapak Muhammad Edi Sitompul yang sudah hampir 15 tahun bekerja di Pabrik Batu Bata tersebut turut menjelaskan kepada siswa bagaimana proses pembuatan batu bata hingga diambil oleh tauke setelah diproses selama dua hari dua malam. Muhammad Isa, selaku pemilik pabrik menutup proses pembelajaran di luar ruang kelas ini dengan menjelaskan modal dan keuntungan yang diperoleh.
Perjalanan berikutnya, siswa menuju Pabrik Pengolahan Pliek U, di Jalan Jangka, Desa Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen. Selayaknya industri rumahan, Pabrik Pliek U ini beroperasi di sebuah rumah di tengah perkampungan warga. Kedatangan siswa di sana disambut oleh sepasang suami-istri yang sedang sibuk menjemur ampas kelapa yang hendak dijadikan Pliek U. Cuaca kala itu cukup terik sehingga sangat sempurna untuk menjemur dan mengeringkan Pliek U. Sambutan yang cukup hangat diberikan oleh bapak-ibu pemilik Pabrik Pengolahan Pliek U, yakni Pak Nasir dan Bu Nurjani.
Pak Nasir dan Bu Nurjani bergantian memberikan penjelasan disertai demonstrasi proses pengolahan Pliek U kepada para siswa. Pak Nasir dan Bu Nurjani sehari-hari aktif berkomunikasi dalam bahasa daerah Aceh sehingga sedikit mengalami keterbatasan bahasa saat proses tranfer informasi dalam bahasa Indonesia. Namun, sebagian besar siswa yang merupakan penutur asli bahasa Aceh mencoba menjadi tutor sebaya untuk membantu memberikan penjelasan kepada teman-teman di kelompok yang lain. Guru yang ikut menemani juga berperan sebagai penerjemah pada kesempatan belajar yang luar biasa ini. Tahap demi tahap pembuatan produk fermentasi kelapa khas Aceh ini pun selesai didemonstrasikan. “Pengalaman yang luar biasa dapat berkunjung ke sini, Bu. Kalau di sekolah ‘kan kita hanya berkutat dengan pembelajaran yang serba digital. Jadi ini pengalaman yang luar biasa,” ujar Muhammad Affan, salah seorang siswa.
Selanjutnya, rombongan belajar berpindah ke destinasi terakhir yang masih berlokasi di Jalan Jangka, Desa Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen, yaitu Pabrik Pengolahan Garam. Pemandangan yang sangat unik juga mengundang banyak tanya dari para siswa saat baru tiba di lokasi tersebut. Di sebuah gubuk-gubuk kecil masyarakat setempat memproduksi garam. Di halaman tiap gubuk, tersusun rapi kayu-kayu yang berfungsi untuk membantu proses pembakaran. Salah seorang Ibu yang menjadi narasumber di home industry ini adalah Bu Nurlaila. Bu Nurlaila sudah 20 tahun menggeluti pekerjaan ini. “Proses dimulai dengan mengambil air sumur bor, lalu dipanaskan selama tiga jam. Setelah dingin, lalu dikemas per kiloan dengan harga Rp8.000. Kalau membeli 2kg cukup membayar Rp15.000 saja,” ujar Bu Nurlaila menjawab serangkaian rasa penasaran siswa.
“Saya baru tahu kalau ternyata garam harus dimasak dulu. Memproduksi garam ternyata tidak mudah. Harus melewati banyak proses, ya Bu” ucap Ghinaul Faradis membagikan kesan belajarnya di home industry ini. Menutup pembelajaran sekaligus pengalaman mengunjungi tempat pembuatan garam, para siswa turut menghargai kearifan lokal ini dengan membeli langsung garam yang dijual. Kunjungan class visit perdana kelas X ini tidak hanya membawa pulang kenangan perjalanan yang menyenangkan, tetapi juga segudang pengetahuan kearifan lokal bagi siswa yang tak terkira nilainya.
Penulis: Dewi Puspita Sari, S.Pd., Gr. (Guru Bahasa Indonesia, SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe)