Post-truth dan Literasi Media
DI era digital, arus informasi melalui berbagai media sosial dan konvensional menyesaki ruang publik dengan berbagai macam informasi. Sebagian informasi mungkin kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan karena didukung bukti-bukti sahih. Namun, sayangnya banyak pula dari pemberitaan yang sampai ke masyarakat, baik melalui media cetak, visual maupun audio, yang disajikan dengan ketergesaan dan mengabaikan pentingnya data dan informasi yang akurat.
Berita atau informasi semacam ini disebut ‘pascakebenaran’ atau post-truth. Frasa post-truth ini awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperebutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics.
Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, dramawan keturunan AmerikaSerbia. Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam terhadap perilaku politisi/pemerintah yang menurutnya dengan sengaja terus memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif. Tesich mengatakan, …“following the shameful truth of Watergate, more assuaging coverage of the Iran–Contra scandal and Persian Gulf War demonstrate that “we, as a free people, have freely decided that we want to live in some posttruth world” (Wikipedia).
Post-truth umumnya dipakai untuk memengaruhi opini publik, dan informasi nirfakta ini semakin marak seiring dengan tersedianya media komunikasi internet. Ironisnya, kebanyakan masyarakat yang tergolong terpelajar sekalipun sering menelan begitu saja berita/informasi ini sebagai kebenaran.
Post-truth sengaja dikembangkan dengan tujuan guna mengolah sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenario kan. Berita/informasi yang disampaikan, meskipun menjanjikan sesuatu yang indah dan menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu kebenaran.
Sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan terjadi, apabila diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan. Peristiwa Brexit dan pemilihan Presiden AS terakhir, menurut banyak pengamat, merupakan produk nyata keberhasilan post-truth politics. Ditimbang dari pengaruhnya yang besar pada kehidupan keseharian masyarakat, frasa post-truth ini oleh Oxford Dictionary dinobatkan menjadi The Words of the Year 2016 (Wikipedia).
Kondisi semacam ini sebenarnya juga terjadi di Indonesia pada berbagai peristiwa politik, termasuk di instrumen kebijakan pendidikan. Banyak sekali isu yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan yang digunakan untuk tujuan politik jangka pendek. Janji sekolah gratis, misalnya, sering dipersepsikan akan dapat menyelesaikan persoalan akses dan mutu pendidikan.
Post-truth di kalangan pelajar juga sering menimbulkan perkelahian dan berujung pada perbuatan kriminal yang serius. Apabila keadaan semacam ini terus berlangsung uncheck, polarisasi dalam masyarakat, termasuk pelajar dan mahasiswa, akibat post-truth akan semakin besar, menciptakan kondisi yang tidak produktif, dan akan dapat memengaruhi agenda pembangunan nasional untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan literasi media
Agar siswa kita resisten terhadap pengaruh post-truth, pendidikan perlu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui pendidikan literasi media. Literasi media dipahami sebagai kemampuan untuk mendapatkan, melakukan analisis, evaluasi, dan menciptakan media sehingga anak-anak maupun orang dewasa dapat memahami pesan yang kompleks. Lebih jauh, melalui literasi media, murid akan didorong untuk mempertanyakan mengapa dan dari mana sebuah pesan dikirimkan (Kellner.D, at all, 2005).
Pemerintah sudah melakukan langkah yang tepat dengan meluncurkan program pendidikan literasi dan karakter. Namun, kualitas konten dan kegiatannya di sekolah/madrasah masih perlu ditingtkan. Selain itu, indikator pemenuhan program harus dirumuskan dengan bahasa yang lebih dipahami dan terukur sehingga ketercapaian kedua program ini dapat dievaluasi dengan tepat sasaran. Pengalaman penulis mengunjungi beberapa sekolah/ madrasah di beberapa wilayah menunjukkan betapa pemahaman tentang literasi dan pendidikan karakter cenderung beragam dan superfisial.
Pendidikan karakter dan literasi ini, jika dilaksanakan dengan pemahaman yang benar kenapa (why) dan bagaimana (how), dapat membantu membentuk karakter siswa yang kuat dan kritis. Hasilnya, siswa mampu menyaring informasi yang datang dari berbagai sumber pemberitaan dan dapat memanfaatkan bagian pemberitaan yang baik untuk kepentingan positif dan produktif sesuai kapasitas mereka sebagai pelajar.
Guna memperkuat program pendidikan karakter dan literasi ini, perlu dipertimbangkan merancang dan mengintegrasikan beberapa kegiatan literasi dan karakter dengan kurikulum formal, terutama pada pembelajaran bahasa dan sastra. Sebaliknya, pembelajaran bahasa dan sastra orientasinya harus dipertajam dan kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara lebih rigor. Kesepahaman harus dibangun bahwa bahasa diajarkan bukan hanya terbatas pada aspek teknikal kebahasaan, melainkan juga diajarkan dengan tujuan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, analitik, dan reflektif.
Karya-karya sastra klasik, berupa novel-novel perjuangan dan biografi para pejuang bangsa serta sejarah Tanah Air harus diperkenalkan dan didiskusikan secara kritis dengan siswa. Semua bacaan itu tentunya sarat dengan nilainilai perjuangan, budaya, dan kemanusian yang dapat membantu upaya pembentukan karakter dan kepribadian siswa yang lebih bertanggung jawab, seiring dengan pemahaman agama yang benar serta cinta Tanah Air.
Siswa SMA/MA harus segera diperkenalkan dengan bacaanbacaan yang bermuatan etika dan fi lsafat agar mampu berpikir logis, kritis, sekaligus refl ektif. Kemampuan berpikir kritis yang dilengkapi karakter yang kuat merupakan amunisi utama yang dapat digunakan untuk menangkis informasi palsu yang bertujuan mengganggu kesatuan bangsa.
Apa yang disarankan di sini bukanlah sesuatu yang baru. Sebuah SMA di Sidoarjo, Jatim, sudah menerapkan konsep liberal arts education untuk memperkaya kurikulum nasional, dan siswanya menjelang kelulusan sudah berhasil menyelesaikan bacaan karya sastra berupa novel, dan produkproduk akademik lain.
Sementara itu, di Aceh, siswa SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe sudah berhasil menerbitkan sebuah buku tentang bagaimana penanganan penyalahgunaan narkoba seharusnya dilakukan. Kedua contoh itu menunjukkan sekolah/madrasah dapat melakukan pembelajaran yang bermakna dan berguna untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab serta melatih siswa menjadi warga negara yang produktif dan dapat berkontribusi bagi masyarakat sekitar. Wallahualam.
Syamsir Alam,
Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma | Media Indonesia 15 Januari 2018