PR, Candu Pendidikan Kita
“The presence of homework is negatively affecting the health of our young people and the quality of family time.” (New York Times, Juni 2011)
JIKA kita googling, lebih banyak lagi penelitian atau laporan mengenai dampak mengenaskan yang terjadi karena pekerjaan rumah (PR). Di samping berpengaruh pada kualitas kesehatan anak dan quality time bersama dengan keluarga, laporan turun atau bahkan matinya minat belajar sampai tindakan bunuh diri anak dengan mudah bisa ditemukan.
Ketika guru menugaskan PR yang banyak kepada murid, secara umum dikatakan itu dilakukan untuk pembiasaan, menumbuhkan tanggung jawab, membuat berpikir, dan supaya mandiri bersikap atau berlaku. Diasumsikan begitu saja, bahwa penugasan semacam itu baik tanpa ada bukti umpamanya bahwa guru atau sekolah betul-betul melakukan penelitian yang muktabar tentang pembebanan yang proporsional. Artinya, jika pijakan memberikan PR dalam rangka pembelajaran, itu benar secara niat, tapi cacat dalam implementasi.
Penugasan dalam bentuk PR secara umum bertujuan habituasi, yakni supaya terjadi repetisi perilaku dan proses informasi sebelum bisa direproduksi murid. Praktik ini jarang sampai pada tahap reflektif-transformatif, yaitu pengetahuan dan pengalaman murid bertumbuh atau bahkan inovasi dan penemuan terjadi.
Habituasi, yang ditandai keberhasilan dengan mengukur perubahan perilaku murid dalam angka-angka, ialah andalan kaum behaviorisme. Ini juga menjadi praktik sebagian kaum kognitivisme, yaitu otak murid dijadikan sebagai bank informasi. Keberhasilan pendidikan diukur dengan melihat seberapa banyak murid mampu menghafal.
Supaya kita bisa move on dari praktik pendidikan yang sesat ini, utamanya praktik habituasi, yang dalam bentuk ekstrem dipraktikkan dalam gaya pendidikan militer, ada baiknya kita belajar sedikit dari Aristoteles, Ki Hadjar Dewantara, dan John Dewey.
Habituasi, refl eksi, dan persepsi
Lebih kurang tiga abad sebelum Masehi, Aristoteles bicara tentang pendidikan sebagai jalan kebajikan atau cara menjadi baik. Pendidikan, bagi Aristoteles, bukan hanya soal habituasi–konsep yang kini menjadi pijakan pemberian PR–melainkan lebih jauh sebagai praktik reflektif dan perseptif.
Melalui proses ini manusia mencapai practical wisdom, yakni kemampuan berpikir, bersikap, dan berlaku bijak. Namun, kita tahu, habituasi dalam pemikiran Aristoteles bisa menjadi konsep yang keras. Bentuk paling ekstrem dapat dilihat dalam praktik pendidikan militer, model yang juga diadopsi di sekolah-sekolah kedinasan di Indonesia.
Habituasi bersandar keniscayaan repetisi dan reproduksi. Metode drilling, menghafal informasi, dan menulis ulang teks ialah sebagian contoh. Dalam praktik paling buruk, kegiatan belajar habituasi tak melibatkan penalaran dan persepsi murid serta semata-mata instruktif.
Oleh karena itu, kita tak bisa berharap pendekatan habituasi yang sempit ini melahirkan kreativitas, inovasi, atau penemuan baru.
Memang terdapat perbedaan metode dan konten sesuai dengan stratifikasi sosial atau peserta pendidikan di zaman Aristoteles. Namun, jika kita baca lebih jauh, terutama dengan melakukan kontekstualisasi, habituasi mutlak memerlukan refleksi dan persepsi jika pendidikan diharapkan sebagai sokoguru kemajuan.
Refleksi, tidak hanya dalam literatur tentang pemikiran Aristoteles, ialah keterampilan berpikir mendalam dan menyeluruh. Buah dari refleksi ialah persepsi, yakni pemikiran, pandangan, atau sikap yang mandiri tentang sesuatu, yang mengatasi persepsi dalam makna yang semata-mata indrawi.
Habituasi, karena itu, merupakan cara dan tujuan antara. Sebagai cara, habituasi haruslah dibaca sebagai pembiasaan yang baik. Akan tetapi, itu tidaklah cukup. Keterbiasaan tanpa penalaran atau pembuktian dan pengakuan atas sebab yang menjadi landasannya ialah seperti bangunan istana pasir.
Keterbiasaan yang sudah ternalar juga belum cukup. Alam berubah, nalar berkembang, pikiran-pikiran baru bertumbuh, dan tak kalah pentingnya selalu ada bawaan alamiah manusiawi yang unik. Kebiasaan atau tradisi tertentu bisa jadi tidak lagi cocok atau teknologi tertentu mungkin dipandang masih menyusahkan. Adalah kemampuan berefleksi dan berpersepsi yang bisa merombak tradisi itu atau menemukan teknologi baru yang lebih efektif dan efisien.
Di awal abad ke-20, Ki Hadjar Dewantara dan John Dewey lebih jauh bicara tentang mutlaknya demokrasi, kebahagiaan dan ketulusan belajar dan pembelajaran. Dengan demikian, dalam konteks ini praktik habituasi yang mengandung unsur pemaksaan dan keterpaksaan menjadi tidak relevan.
Bagi kedua tokoh ini, belajar mutlak harus dalam ruang tempat kemerdekaan berpikir dan berekspresi terjamin. Seiring dengan itu, konten harus menarik dan kontekstual sesuai dengan dunia murid sehingga mereka ‘terpanggil’ untuk belajar.
Kebahagiaan, selanjutnya, bukanlah karena hal-hal yang nonsense, tetapi karena kebermaknaan. Berbagai riset menemukan, praktik pemberian PR yang ketat dan banyak tidak berkorelasi dengan kebahagiaan murid dan keberhasilan belajar, tetapi justru sebaliknya. PR, kata Alvie Kohn, bisa menjadi an unnecessary evil atau kenistaan yang tak perlu (2012).
Dalam menggunakan parameter sederhana Aristoteles itu, harus ikhlas diakui, kita terjebak dalam pendekatan habituasi, terutama karena praktik pendidikan yang tidak jauh dari buku teks pelajaran. Sekolah mengabaikan atau tidak benar-benar sampai taraf belajar reflektif dan perseptif Aristoteles.
Begitu juga, jika parameter Ki Hadjar Dewantara dan John Dewey yang digunakan, praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Standardisasi, kewajiban mengejar ketuntasan materi, belajar yang menjadikan buku teks dan/ atau LKS sebagai kitab suci, serta beragam ujian sebagai cara menagih kebertanggungjawaban murid ialah contoh-contoh tidak terpuji.
PR, candu atau madu
Kembali pada urusan PR, ada berbagai pendapat atau resep yang berseliweran dalam khazanah dan praktik pendidikan. Di Finlandia, meskipun ada yang salah kaprah bahwa di sana sama sekali tak ada PR, ada kebijakan guru yang berpatokan pada kebutuhan yang terukur, pembatasan beban dan alokasi waktu. PR yang dikerjakan murid dalam rentang 10 sampai 20 menit bisa dikategorikan sebagai wajar.
Meskipun kini lebih bervariasi, di negara-negara, seperti Singapura, Jepang, Korsel, Hong Kong, atau Tiongkok (Shanghai), PR masih menjadi cara ‘memaksa’ murid-murid belajar di luar jam sekolah. Dikabarkan, ini berhubungan dengan membangun etos kerja dan daya saing. Namun, sebagai catatan, ada sistem di negara-negara ini yang memastikan PR berhubungan dengan proses kreatif, bukan semata-mata sebagai praktik habituasi yang repetitifreproduktif.
Dalam konteks Indonesia, kita masih harus mengakui PR pada umumnya masih sekadar ‘candu’. Sebagian besar guru-guru dan masyarakat masih percaya, pemberian PR merupakan cara mendidik yang efektif sehingga ketika ada guru atau sekolah tidak memberikan PR, mereka dianggap aneh atau bahkan dinilai sebagai guru atau sekolah tidak bermutu.
Khairil Azhar, Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma