Pramuka dan Harga Diri
“MERDEKA atau mati!” demikian pekik heroik Angkatan 45 ketika memperjuangkan kemerdekaan. Bahu-membahu, tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Mereka menyabung nyawa untuk sebuah cita-cita luhur Indonesia merdeka. Proklamasi diraih dengan tetesan keringat dan darah para pejuang kemerdekaan. Mereka berlomba memberikan yang terbaik untuk kemaslahatan nusa dan bangsa.
Kini, tujuh puluh tiga tahun kemudian, masihkah pengorbanan dan harga diri positif dimiliki generasi penerus? Tidak mudah untuk menjawabnya, apalagi di tahun politik seperti sekarang ini. Hingar bingar pilkada, pileg, dan pilpres semakin memperkuat dugaan bahwa pengorbanan dan harga diri telah tergadai, ditukar dengan kontestasi. Kompetisi menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi banyak pihak. Di sini terbuka ruang ekspresi naluri primitif untuk mengalahkan, bahkan dalam beberapa kasus, melenyapkan orang lain.
Mengapa hasrat kontestasi kini sedemikian kuat melebihi keinginan untuk berkolaborasi? Bisa jadi karena sejak usia yang sangat dini kita dibiasakan dengan aneka ‘kompetisi’. Bersaing memperebutkan rangking di kelas, mengikuti berbagai lomba untuk dapat meraih gelar juara, olimpiade digelar di sana-sini.
Padahal, yang sering tidak disadari, kompetisi selalu hanya menyediakan sedikit juara, dan selebihnya, mereka yang dikalahkan. Bagi para juara, yang jumlahnya sedikit, mungkin berdampak positif bagi perkembangan harga diri. Namun, untuk sebagian besarnya yang terkalahkan tentu menyisakan perasaan inferioritas. Bayangkan jika sejak kecil seseorang terus-menerus berada pada kategori ini, harga diri seperti apa yang berkembang.
Harga diri
Salah satu perkembangan psikologis yang dialami individu begitu menginjak usia remaja ialah perkembangan harga diri, yaitu keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri, membandingkan antara ideal-self dan real-self (Santrock: 2015).
Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, berharga menurut standar dan nilai pribadinya. Harga diri ini dapat positif ataupun negatif.
Baron dan Byrne (2000) menjelaskan harga diri sering diukur sebagai peringkat dalam dimensi berkisar dari negatif sampai positif atau rendah sampai tinggi. Manakala individu diminta membandingkan ideal-self dengan real- self, jika semakin besar perbedaan antara real-self dengan ideal-self, semakin rendah pula harga dirinya.
Oleh karena itu, apabila jarak antara diri nyata dan diri ideal terlalu lebar, individu cenderung merasa terlalu berat untuk bisa menghadapi dinamika kehidupan yang semakin rumit dan kompleks. Dalam perkembangannya pembelajar dapat memperbaiki harga diri dengan mempersempit jarak perbedaan antara diri nyata dan diri ideal.
Di mata Eoleiochta, Leanai, dan Dei (1997), harga diri rendah berasal dari pengalaman seseorang sepanjang rentang kehidupannya yang kurang menguntungkan, seperti tidak mendapatkan cukup kasih sayang, dorongan, dan tantangan. Cinta dan penerimaan yang selalu bersyarat. Selalu mengalami kritikan, ejekan, sarkasme, dan sinisme. Adanya pemukulan fisik dan pelecehan. Tidak adanya pengakuan dan pujian untuk prestasi. Kelebihan dan keunikan diri yang selalu diabaikan.
Dalam konteks kesehatan mental, harga diri memiliki peran yang sangat penting. Individu dengan harga diri tinggi akan memandang dirinya dengan cara yang positif. Orang dengan harga diri tinggi akan lebih tepat dalam melakukan pemaknaan manakala dihadapkan pada pengalaman pahit, seperti kegagalan.
Pengembangan harga diri
Ada sejumlah faktor yang, menurut Frey dan Carlock (1987), harus diperhatikan dalam pengembangan harga diri. Pertama, interaksi dengan orang lain. Awal interaksi ialah melalui ibu, kemudian meluas pada figur lain yang akrab dengan individu. Ibu yang memiliki minat, afeksi, dan kehangatan akan menimbulkan harga diri yang positif karena anak merasa dicintai dan diterima.
Lingkungan sekolah ialah sumber penting kedua setelah keluarga. Jika orang memiliki persepsi baik mengenai sekolah, ia akan memiliki harga diri yang tinggi. Bila sekolah dianggap tidak memberikan umpan balik positif, harga diri akan rendah. Sayangnya, lingkungan sekolah kita sering kali kurang kondusif bagi perkembangan harga diri siswa.
Bagaimana orangtua mengasuh anaknya juga memengaruhi harga diri anak. Pola asuh otoritatif terbukti lebih dapat mengembangkan harga diri anak. Keanggotaan kelompok tidak dapat diabaikan peran pentingnya. Jika individu merasa diterima dan dihargai oleh kelompok, mereka akan mengembangkan harga diri lebih baik.
Faktor kepercayaan dan nilai yang dianut individu juga harus diperhatikan. Harga diri yang tinggi dapat dicapai bila ada keseimbangan antara nilai dan kepercayaan yang dianut individu dan kenyataan yang didapatkannya sehari-hari. Faktor lain yang juga penting ialah kematangan dan keturunan. Individu yang secara fisik tidak sempurna dapat menimbulkan perasaan negatif terhadap dirinya, misalnya pada kasus penyandang disabilitas.
Dengan kategori yang lebih ringkas, Michener, DeLamater dan Myers (2004) menyebutkan, terdapat tiga faktor harga diri, yaitu family experience, performance feedback, dan social comparison. Family experience, pengalaman hidup bersama keluarga, hubungan orang tua-anak, sangat memengaruhi perkembangan harga diri oleh karena self-concept yang dibangun mencerminkan gambaran diri yang dikomunikasikan atau disampaikan oleh orang-orang terpenting dalam hidupnya.
Performance feedback, umpan balik terus-menerus terhadap kualitas performa kita, seperti kesuksesan dan kegagalan, dapat memengaruhi harga diri. Kita memperoleh harga diri melalui pengalaman nyata ketika berhasil menorehkan prestasi tertentu dalam hidup, mencapai cita-cita dan mengatasi rintangan. Sementara social comparison sangat penting untuk harga diri karena perasaan memiliki kompetensi tertentu didasarkan hasil performa yang dibandingkan, baik dengan hasil yang diharapkan dari diri sendiri maupun dengan hasil performa orang lain.
Berharap pada Pramuka
Praja muda karana berarti jiwa muda yang suka berkarya. Kepramukaan sebagai proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan keluarga, yang dilakukan dalam bentuk aneka kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah. Praktis diharapkan dapat lebih memainkan peran dalam upaya pembentukan watak, akhlak, dan budi pekerti luhur.
Experiential learning kini semakin mendapatkan tempat dalam proses pendidikan. Sebuah proses pembuatan makna dari pengalaman langsung, dengan kata lain, ‘belajar dari pengalaman’. Experiential learning merupakan bentuk pembelajaran melalui refleksi terhadap apa yang dilakukan, yang secara filosofis bertolak belakang dengan model hafalan atau didaktik. Pramuka, dengan berbagai aktivitas latihan yang dilakukannya, memberi banyak pengalaman langsung pada remaja yang sangat bermanfaat dalam upaya pengembangan harga diri positif.
Kegiatan kepanduan memang memberi remaja kesempatan berkembang dan mempertahankan hubungan positif dengan orang dewasa. Meningkatkan pengembangan keterampilan hidup melalui berbagai program kegiatan. Dan memberikan kesempatan mengembangkan keterampilan kepemimpinan, dengan harapan dapat menerapkan keterampilan ini dalam keluarga, sekolah, dan komunitas. Selamat Hari Pramuka: Praja Muda Karana!
Khoiruddin Bashori, Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta