Readvokasi Pendidikan Karakter
SETIDAKNYA dalam dua dekade ini, pendidikan karakter di advokasi kembali oleh pemangku negara. Misalnya, pada masa kabinet Presiden SBY jilid II, secara terbuka dinyatakan bahwa pendidikan karakter ialah salah satu target program kerja mereka. Di masa Presiden Joko Widodo diluncurkan ide ‘revolusi mental’ yang juga kental dengan nuansa pendidikan karakter. Harapannya, pendidikan karakter menjadi gerakan menumbuhkan kesadaran pada setiap individu, kelompok, pejabat, dan masyarakat untuk mengoreksi atau memperbaiki perilaku, sikap, dan kepribadian dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar Indonesia menjadi bangsa yang unggul.
Namun, kasus-kasus yang menodai karakter bangsa, seperti maraknya kasus korupsi dan segala bentuk turunannya, perusakan lingkungan dan lainnya, menunjukkan betapa ‘kanker sosial’ tengah menyerang masyarakat kita. Kejujuran, tanggung jawab, amanah, ketulusan, keberanian untuk menegakkan yang haq, semangat berdedikasi, dan rasa syukur sebagai modal sosial bangsa dalam kehidupan nyaris luluh lantak.
Karena itu, dalam merespons readvokasi pendidikan karakter, kita perlu merefleksi agar praksis pendidikan karakter tidak menyimpang dari roh dan tujuan sejatinya. Beberapa pertanyaan reflektif, misalnya ‘mengapa pendidikan karakter diadvokasi kembali’, ‘bagaimana pendidikan karakter dimanifestasikan di kelas dan sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan’, dan ‘apa yang harus dilakukan agar pendidikan karakter tidak dipolitisasi untuk kepentingan status quo’.
Pentingnya pendidikan karakter
Pertama, tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 sarat dengan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Hanya, apakah rumusan itu telah betul-betul menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam melakukan fungsi dan tugas mereka?
Kedua, karakter positif dapat memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian (prestasi) akademik peserta didik. Kalau setiap murid merasa bahwa belajar merupakan tanggung jawab, dengan sendirinya mereka akan termotivasi kuat untuk belajar dengan baik. Pendidikan nilai termasuk karakter bahkan dapat memperbaiki kualitas pembelajaran karena karakter baik akan mendorong seseorang berbuat yang berbaik (Loyat, 2009).
Ketiga, kita sering menemukan kontradiksi apa yang dibicarakan orang tentang nilai, kebaikan, atau sikap baik (idealita) dengan realitas kehidupan. Orang banyak membicarakan dan menampilkan atau mencitrakan diri baik (talking about good and looking good), tapi praktiknya belum tentu sejalan dengan ucapan (doing good).
Keempat, kita dihadapkan pada tantangan dan tuntutan kehidupan abad ke-21. Lembaga pendidikan termasuk guru dihadapkan pada tantangan berupa kemampuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau sikap yang menjadikan peserta didik kita mampu menghadapi kehidupan dan pergaulan global (Gaudelli, 2003).
Kelima, masyarakat Indonesia ialah masyarakat agamais yang menyakini nilai-nilai atau ajaran agama adalah landasan penting bagi kehidupan berbangsa dan negara (sila pertama Pancasila). Ajaran agama Islam, misalnya, disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ‘akhlak adalah fondasi suatu bangsa. Apabila akhlak suatu bangsa baik, bangsa akan tegak. Namun, apabila akhlak suatu bangsa rusak, kehidupan bangsa akan hancur’.
Menanamkan karakter
Karakater berasal dari kata Yunani, kharaseein, yang berarti membuat guratan atau grafir, tanda yang memberi kesan, stempel atau ciri untuk membedakan sesuatu yang berharga. Karakter merupakan kualitas mental dan moral, kualitas diri, landasan berpikir yang membuat seseorang berbeda dengan lainnya (Kupperman, 1991). Pendidikan karakter ialah upaya mengembangkan sikap ihsan–kebiasaan dan karakter baik yang membawa murid menjadi dewasa, bertanggung jawab dan matang secara sistematik. Praktik pendidikan karakater dapat mendorong kreativitas dalam merancang program atau kegiatan pembelajaran.
Melalui pembelajaran ilmu sosial, misalnya sosiologi/ antropologi, peserta didik mendapatkan kesempatan mengenal keragaman budaya dan etnik dalam suatu masyarakat. Melalui pelajaran olahraga, peserta didik diberi kesempatan untuk mempertimbangkan atau memperhatikan fairness, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam situasi kompetitif.
Beberapa kegiatan lain yang dapat dimanfaatkan untuk menanamkan karakter, seperti gathering, memberi kesempatan atau mendorong peserta didik untuk kongsi pengalaman dan pandangan melalui diskusi. Latihan memecahkan masalah mendorong pengembangan cara berpikir objektif dan kemampuan berpikir kritis. Service learning, seperti tinggal di masyarakat (kuliah kerja nyata), memungkinkan peserta didik melatih empati dengan merasakan kehidupan yang dialami orang. Peserta didik juga dapat memahami dan mengkaji kebutuhan masyarakat, membuat program aksi, menelaah dan merefleksikan pengalaman mereka.
Kegiatan drama mengandung pengertian dilema moral, nilai, dan kepercayaan. Melalui drama, siswa memperoleh kesempatan untuk mengidentifikasi identitas, kepercayaan, dan nilai serta memahami perbedaannya, menguji bukti, opini, dan membuat kesimpulan, mendiskusikan perbedaan dan menyelesaikan konflik, mendiskusikan dan mempertimbangkan penyelesaian terhadap dilema moral persoalan personal dan sosial, juga apresiasi perbedaan yang ada dalam kehidupan (Halstead; Taylor, 2005).
Sayangnya, acap kali para guru gagal dan terperosok dalam jebakan administratif. Guru hanya meletakan karakter dalam kolom rencana pembelajaran ketimbang membuat skenario yang pas dan mengintegrasikan nilai atau karakter dalam pembelajaran.
Fuad Fachruddin
Divisi Penjaminan Mutu
Pendidikan Yayasan Sukma
Media Indonesia, 26 Maret 2018