Rekonstruksi Standar Nasional Pendidikan
DI kalangan pegiat pendidikan kreatif, frasa ‘standar’ dan ‘kriteria’ sering dianggap sebagai belenggu yang dapat menghambat kebebasan. Sementara itu, kebebasan merupakan prasyarat guna melahirkan gagasan kreatif, unik, dan orisinal. Sebaliknya, bagi pengambil kebijakan yang bersifat makro, standar dan kriteria diperlukan untuk menyusun perencanaan yang berkeadilan dan digunakansebagai pedoman pengukuran pencapaian program.
Kriteria dan standar selalu berpasangan, yang satu menunjukkan ciri dan lainnya tingkat (pencapaian). Kriteria adalah sebuah properti atau karakteristik yang dapat digunakan untuk menilai kualitas sesuatu. Sementara itu, standar adalah tingkat pencapaian tertentu yang diinginkan atau yang hendak dicapai (Sadler: 1987). Haruskah kedua frasa standar/kriteria dan kreativitas ini dibiarkan akan saling meniadakan? Jawabannya tentu saja tidak. Bagi Finlandia, yang populasi sekolahnya sangat kecil dan homogen mungkin bisa mengesampingkan kebutuhan stan-dar nasional pendidikan. Sebaliknya,
RI atau AS yang populasi sekolahnya sangat besar, beragam, dan tersebar, standar nasional pendidikan (SNP) masih diperlukan. SNP diterapkan untuk menjaga kualitas pelayanan pendidikan lebih bermutu dan berkeadilan secara merata. Dengan tetap memperha-tikan dan mendorong munculnya pemikiran kreatif di tingkat daerah/lokal.
Kebutuhan akan SNP ini juga dikemukakan Wapres RI, Jusuf Kalla, pada acara Rembuknas Kemendikbud 2018. Menurut Jusuf Kalla, “Kondisi Indonesia yang heterogen, sangat memerlukan standar sebagai tolok ukur dan acuan mutu pendidikan nasional.”
Standar pendidikan Belajar pada pengalaman AS di era Obama, saat itu berlaku UU yang dikenal sebagai ESSA, the Every Student Succeeds Act, yang mengamanatkan bahwa semua siswa harus diberikan kesempatan memperoleh pembelajaran dengan standar akademik yang tinggi, sebagai bekal agar mereka dapat sukses dalam perkuliahan, karier, dan kehidupan.
Kualitas pendidikan diyakini banyak dipengaruhi standar yang baik (sound standard) dan penilaian yang rigorous. Karenanya, AS memiliki common core curriculum dan sistem penilaian yang rigorous.
Paralel dengan ESSA ini, kita di RI memiliki standar nasional pendidikan (SNP), yang dalam UU No
20/2003 (Pasal 1, ayat 17) disebutkan, SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI. Selanjutnya, pada Pasal 35 dinyatakan, SNP terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Dari kedelapan standar ini, standar kompetensi lulusan memiliki kedudukan yang unik sebab standar kompetensi lulusan ini memberi
kan kerangka konseptual tentang
sasaran pembelajaran yang harus
dicapai yang mencakup pengem-
bangan ranah sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang dielaborasi
untuk setiap satuan pendidikan.
Kualitas pendidikan
Mutu pendidikan pada tingkat
dasar dan menengah, sejak dike-
luarkannya Peraturan Pemerintah
No 19/2005, yang merupakan tu-
runan dari UU Sisdiknas No 20/2003,
setidaknya sudah dikawal dua insti-
tusi ‘eksternal’, yaitu Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP), Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madra-
sah (BAN-S/M), dan ditambah Pus-
pendik Balitbang yang merupakan
tulang punggung dalam penyeleng-
garaan ujian nasional (UN).
Namun, setelah lebih dari satu
dekade keberadaan kedua institusi
eksternal ini, kualitas pendidikan
kita masih belum menunjukkan ge-
liatnya yang bermakna. Setidaknya,
apabila kita menggunakan indikator
mutu yang digunakan PISA, TIMSS,
dan PIRLS.
Hasil akreditasi lima tahun ter-
akhir (2012-2017), memang menun-
jukkan sedikit peningkatan dalam
pencapaian ke delapan standar pen-
didikan. Namun, peningkatan angka
belum mengubah kedudukan, masih
peringkat rerata B. Termasuk penca-
paian pada standar utama, yang ber-
dasarkan hasil studi berkontribusi
besar terhadap peningkatan mutu/
hasil UN, seperti standar kompetensi
lulusan/SKL (85), standar isi (88),
standar pendidikan dan tenaga
kependidikan/PTK (82), dan standar
pengelolaan (86). Berdasarkan pedo-
man penilaian akreditasi 2018, nilai
A didapat, jika perolehan nilai angka
mencapai lebih besar daripada 90.
Jika dilihat dari pencapaian seko-
lah/madrasah (SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK, dan SLB), persentase
sekolah/madrasah dengan peringkat
A hanya sebanyak 30,8%, peringkat
B (53,5%), dan peringkat C (14,3%)
(Badan Akreditasi Nasional-Sekolah/
Madrasah: 2017). Artinya, mutu pen-
didikan berdasarkan hasil akreditasi
menunjukkan masih relatif rendah.
Pencapaian akreditasi dengan pe-
ringkat A masih relatif kecil jum-
lahnya. Padahal, SNP sebagaimana
disebutkan di atas merupakan kri-
teria minimal.
Rekonstruksi SNP
SNP sudah digunakan 13 tahun.
Namun, mutu pendidikan kita posi-
sinya masih relatif rendah. Ter-
masuk jika dibandingkan dengan
negara-negara serumpun. Apakah
SNP yang digunakan terlalu banyak
sebagai indikator mutu sehingga
kurang fokus, atau mungkin terda-
pat faktor lain yang menghambat
kinerja mutu di sekolah/madrasah.
Untuk menjawab keraguan ini,
marilah kita perhatikan data beri-
kut. Hasil studi yang dilakukan Pus-
litjak Balitbang Kemendikbud (2016)
menunjukkan, secara bersama-sama
pencapaian ke delapan standar
(SNP) terhadap mutu sekolah (hasil
UN) signifi kan, dengan kontribusi
sebesar 7,75%. Namun, secara par-
sial hanya pencapaian standar isi,
SKL, PTK, dan pengelolaan yang
berpengaruh signifikan terhadap
mutu sekolah/hasil UN. Hasil studi
ini menurut penulis perlu diper-
timbangkan apabila Kemendikbud
hendak menata ulang SNP.
SKL dan standar isi merupakan
representasi kurikulum yang harus
diupayakan adaptif dengan peru-
bahan dan perkembangan masya-
rakat serta kemajuan teknologi, PTK
menyangkut tenaga pendidik (guru),
yang harus terus diupayakan lebih
profesional dan andal. Dan pengelo-
laan terkait dengan kepemimpinan
manajerial dan instruksional.
Pada ke empat standar utama ini,
Kemendikbud hendaknya dapat
lebih berkonsentrasi dalam up-
ayanya untuk meningkatkan mutu
pendidikan ke depan. Kebijakan
ini tentunya selaras (align) dengan
rencana Kemendikbud untuk lebih
memberdayakan/merevitalisasi
peran dan fungsi MGMP dan sekolah,
dalam rangka meningkatkan kapasi-
tas guru dan meningkatkan kualitas
pembelajaran pada tingkat kelas.
Hal lain, yang mungkin perlu diper-
timbangkan adalah mengintegra-
sikan BSNP dan BAN-S/M sehingga
keselarasan standar dan instrumen
akreditasi bisa lebih terjamin. Selain
itu, penyelenggaraan akreditasi ke
depan seyogianya lebih diarahkan ke-
pada fungsi formatif (pembinaan), bu-
kan sumatif (menentukan peringkat).
Dan sebagai bentuk akuntabilitas,
seperti yang terjadi sekarang ini.
Dengan demikian, seluruh energi
dan sumber daya yang tersedia di
jajaran Kemendikbud dapat disi-
nergikan dalam upaya meningkat-
kan mutu pendidikan nasional.
Wallahu alam.
Syamsir Alam
Divisi Pengembangan
Kurikulum dan Penilaian
Yayasan Sukma