Sekolah Antiperundungan
Nama Drayke Hardman dari Amerika Serikat akhir-akhir ini sedang menjadi topik hangat perbincangan banyak orang, khususnya kalangan orang tua. Drayke dikabarkan meninggal dunia seusai bunuh diri akibat perundungan berulang kali yang dialaminya di sekolah. Karena tak tahan dengan berbagai intimidasi yang dialamatkan kepadanya, bocah berusia 12 tahun tersebut akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang cukup mengenaskan.
Kejadian serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Isabella Tochenor, 10, yang juga berasal dari Amerika Serikat melakukan aksi bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungan dari teman-temannya. Lebih dari itu, dia mengalami perlakuan rasial dari mereka.
Di Tanah Air kasus perundungan juga terjadi bahkan sudah pada taraf mengkhawatirkan. Pada 2020 seorang siswa di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, dikabarkan meninggal dunia seusai terlibat pekelahian dengan sesame temannya karena dipicu tindakan saling mengejek. Di Kota Malang, Jawa Timur, seorang siswa harus menjalani operasi amputasi jari tangan akibat perundungan yang dialaminya. Di Bekasi, seorang siswa dilaporkan mengalami luka dan trauma akibat penganiayaan yang dilakukan 10 kakak kelasnya (Media Indonesia, 2020).
Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan 41,1% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Fakta itu menempatkan Indonesia pada posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara dengan siswa paling banyak mengalami perundungan. Rata-rata perundungan yang dilakukan berupa kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Ironisnya, berbagai perundungan tersebut bersumber atau dilakukan di lingkungan sekolah, bahkan ada yang sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan berulang kali. Sangat disayangkan, hal itu terjadi di sekolah yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan untuk membina dan menumbuhkan karakter baik siswa.
Perundungan di sekolah
Berbagai kasus perundungan di sekolah disebabkan setidaknya lima faktor. Faktor pertama ialah rendahnya pengawasan terhadap perundungan yang menjadi pemicu terjadinya kasus itu. Dalam beberapa kejadian, pihak sekolah sering kali abai terhadap berbagai kasus perundungan yang terjadi, bahkan terkadang menganggapnya sepele.
Padahal, berbagai kekerasan kecil yang dilakukan di sekolah menjadi pemicu terjadinya kekerasan-kekerasan besar lainnya seperti kasus di atas. Akibatnya siswa sebagai pelaku perundungan seakan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka dan tidak tertutup kemungkinan hal itu menjadi dukungan untuk mereka terus mengintimidasi siswa lain. Panggabean (2015) menyebutkan perundungan di sekolah memberikan dampak pada menurunnya prestasi akademik pelaku dan korban, mengganggu psikologis korban dan individu yang menyaksikan perundungan, serta dapat melanggengkan perilaku kekerasan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan dan karakter.
Faktor kedua ialah pola pembangunan disiplin di sekolah yang lemah, seperti aturan sekolah yang tidak konsisten serta lemahnya sanksi terhadap tindak perundungan. Penegakan tata tertib yang tidak kuat dan kurang mendapatkan perhatian khusus membuat kesan bahwa perundungan merupakan hal biasa dan akhirnya berdampak pada maraknya kasus perundungan di sekolah.
Faktor ketiga ialah perlakuan diskriminatif guru dan siswa yang tidak menghargai heterogenitas di sekolah. Kemajemukan latar belakang warga sekolah, seperti etnik, status sosial, dan intelektualitas, kadang belum dapat diterima dengan baik oleh guru dan siswa yang menjadi pemicu terjadinya perundungan. Hal tersebut terjadi karena penguatan nilai-nilai penghargaan atas keberagaman kurang menjadi prioritas sekolah.
Faktor keempat, suasana sekolah yang tidak mendukung perkembangan positif siswa juga turut memengaruhi. Adanya pelaksanaan pengajaran dengan kurikulum dan teknik yang padat dan kaku menjadikan siswa sulit untuk menyalurkan minat dan bakat mereka pada aspek-aspek positif sehingga mereka menggunakan waktu untuk berbuat jahil dan melakukan hal-hal yang tidak baik. Akibatnya focus utama siswa di sekolah tidak lagi pada pendidikan, tetapi berkembang ke ranah-ranah kekerasan.
Terakhir, pengaruh senioritas sering menjadi pemicu terjadinya perundungan di sekolah. Budaya feodalisme ‘yang kecil harus tunduk kepada yang besar’ seakan telah mengakar dalam pendidikan kita dan turut menyumbang bertambahnya kasus perundungan. Belum lagi sisa-sisa tradisi lama seperti orientasi sekolah yang masih menganut unsur kekerasan juga menambah panjangnya kasus perundungan di Indonesia.
Menangani perundungan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai peran vital dalam menghapus perundungan. Berbagai upaya dapat dilakukan sekolah untuk menghentikan, setidaknya meminimalkan, perundungan, seperti adanya pembekalan kepada warga sekolah tentang pengetahuan dan keterampilan penanganan perundungan. Untuk guru, hal itu berguna agar dapat memberikan pemahaman tentang apa yang harus dilakukan ketika perundungan terjadi, termasuk bagaimana menangani korban dan pelaku. Guru dapat menjadi mediator yang menyelesaikan berbagai kasus perundungan yang terjadi. Bagi siswa, bekal pengetahuan dan keterampilan itu dapat menjadi alternatif penyelesaian konflik di kalangan mereka sendiri.
Siswa dapat memberdayakan diri mereka sendiri untuk mengatur dan mengontrol perilaku sendiri dan teman, seperti melalui keterampilan mediasi sejawat, sehingga hal ini mampu berkontribusi dalam menekan angka perundungan di sekolah.
Selanjutnya, sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian dalam proses pendidikan, seperti penerapan nilai penghargaan terhadap keberagaman, solidaritas, dan tanggung jawab ke dalam kurikulum sekolah. Metode pengajaran yang digunakan mengedepankan kolaborasi. Sebaliknya, semangat kompetisi harus dibuang jauh-jauh. Sekolah juga perlu membangun dan membiasakan budaya nirkekerasan di kalangan siswa melalui berbagai kegiatan, seperti adanya sosialiasi tentang budaya antiperundungan, memilih duta perdamaian sekolah, serta mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian ke dalam semua mata pelajaran di sekolah.
Melembagakan manajemen konflik berbasis sekolah kiranya juga perlu dilakukan. Sekolah perlu menunjuk petugas khusus, baik di tingkat guru maupun siswa, atau membuat lembaga khusus yang bertanggung jawab terhadap pencegahan perundungan di sekolah. Sekolah dapat memanfaatkan konselor sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan atau siswa yang menjadi agen perdamaian untuk terus menyuarakan budaya nirkekerasan. Di samping itu, peraturan dan sanksi yang sesuai bagi pelaku perundungan perlu ditegaskan kembali sehingga pelaku perundungan akan berpikir dua kali ketika hendak melakukan aksi. Perundungan masih kerap terjadi di sekolah. Interaksi antarwarga sekolah dengan latar belakang berbeda, yang tidak disertai dengan pemahaman dan penghormatan atas keberagaman, berkontribusi pada munculnya perundungan. Kolaborasi semua pihak, baik guru, siswa, maupun manajemen sekolah, perlu terus diupayakan untuk menghapus perundungan. Mari wujudkan sekolah yang bersih dari perundungan dan segala bentuk kekerasan.
By : Azwar Anas, S. Pd (Wakil Kepala SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe Bidang Kesiswaan)
*Artikel ini sudah dimuat di mediaindonesia.com, tanggal 21/03/2022