Sekolah Bahagia
BAGI para pelajar yang duduk di bangku akhir SD, SMP dan SMA, saat ini bukanlah bulan-bulan yang enak dan nyaman. Karena alasan yang mekanistik, mereka mesti bergelut dengan soal-soal ujian, try-out, seremoni motivasi, muhasabah, atau bolak-balik mengikuti bimbingan belajar atau les privat. Tujuannya satu: mereka harus mengejar angka-angka yang telah dipatok pemerintah, sekolah, orangtua, atau lingkungan sosial mereka.
Kalau ada yang kemudian bertanya mengenai apakah para pelajar itu bahagia, itu adalah pertanyaan yang absurd. Arus besar pendidikan kita bukan digerakkan cita rasa kebahagiaan. Sebaliknya, pendidikan kita, bahkan sejak taman bermain, lebih digerakkan harapan akan kebahagiaan yang tak wajib dinikmati kini. Sekolah adalah ’kawah Candradimuka’ yang menggelegak, getir, dan kalau perlu mesti menelan korban. Kebahagiaan adalah urusan nanti.
Sejak awal abad ke-20, John Dewey mengulang-ulang kata kebahagiaan dalam salah satu masterpiece-nya, Democracy and Education. Dewey menegaskan bahwa pendidikan hakikinya berurusan dengan kebahagiaan, dimulai sejak pendidikan itu dirancang dan dijalankan. Sekolah adalah taman mini sosial-multikultural, dengan kebahagiaan dialami dan dinikmati dengan berbagi. Itu hanya mungkin ketika pendidikan bermakna secara intrinsik bagi individu dan diselenggarakan secara demokratis dan menyenangkan.
Bisa saja, kita mungkin bilang, murid-murid yang lulus ujian nasional (UN), meraih nilai tinggi, atau hafal beribu ayat kitab suci akan bahagia atau bahagia dalam pendidikan mereka. Atau bisa juga kita katakan kalau anak-anak yang lolos seleksi di sekolahsekolah favorit, perguruan tinggi ternama, atau belajar kelas-kelas khusus lebih bahagia daripada teman-teman mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah ’biasa’ atau di kelas-kelas reguler.
Namun, tak demikian adanya kalau kita merujuk pada sebuah terbitan UNESCO 2016. Dalam buku berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the AsiaPacific itu dilaporkan, hasil survei di negara-negara kawasan Asia-Pasifi k dengan melibatkan 654 responden.
Penelitian ini menemukan 5 faktor utama yang mengategorikan ’sekolah bahagia’ dan 5 faktor sebaliknya. Pertama-tama, sekolah bahagia bercirikan kentalnya ikatan emosional di antara warga sekolah, seperti pertemanan dan kemitraan. Di dalamnya ada kesalingpercayaan, saling menghormati dan menghargai, keterterimaan tanpa melihat latar belakang, serta kesetaraan perlakuan.
Sebaliknya, sekolah tak bahagia dicirikan berlingkungan tak aman, dengan perundungan atau perisakan mudah terjadi. Di sana ada kekerasan, tak hanya fisik, tetapi juga verbal, serta nihil respek yang membumi. Murid-murid di sekolah tak bahagia dihantui rasa takut dan kecemasan, keterasingan dan rendah diri.
Kedua, sekolah bahagia berlangit kehangatan dan berfasilitas memadai. Selain faktor keamanan dan kenyamanan psikologis, lingkungan yang hijau serta area bermain dan olahraga, survei UNESCO juga menemukan sekolah bahagia menyediakan makanan gratis, sehat, dan enak.
Dalam konteks Indonesia, dengan hanya sekolah-sekolah tertentu yang menyediakan makanan siang yang dikelola sekolah, soal penyediaan makanan mungkin bisa ’diubah’ menjadi warung sekolah (atau warung sekitar sekolah) yang terjamin kebersihan dan rasanya.
Sekolah tak bahagia, di sisi lain, memiliki lingkungan belajar dan atmosfer negatif. Di sekolah macam itu, muridmurid sering merasakan ketegangan, sikap cuek dan masa bodoh, senyum basa-basi, kealpaan kepercayaan, dan harmoni semu antarwarga sekolah.
Hemat penulis, bisa jadi terdapat beragam fasilitas, kegiatan, atau faktor-faktor fi sikal lainnya di sekolah bersangkutan. Namun, itu semua lebih sebagai formalitas, sebagai prasyarat yang mesti dipenuhi supaya terakreditasi atau merayu calon murid dan orangtua.
Ketiga, bukannya hasil ujian atau kompetisi, sekolah bahagia ternyata bercirikan adanya beragam kegiatan kreatif dan praktis. Belajar tak hanya dalam ruang kelas, yang justru sering menjadi penjara bagi murid, tetapi bervariasi dengan berbagai kegiatan kaya pengalaman di luar ruang. Murid-murid yang disurvei menyatakan bahwa kegiatan fi eld-trip dan ekstrakurikuler membuat mereka bahagia. T
ak kalah pentingnya, sekolah bahagia menjamin hak dan kesempatan unjuk pikiran dan diri serta keleluasaan mencoba. Guru-guru, senior, atau teman kelas tak memperbudak dengan mengeksploitasi rasa takut dan kesalahan. Ketika belajar tanpa kecemasan, murid-murid berkembang secara alamiah, keingintahuan bertumbuh, ruang bercita-cita meluas dan eksplorasi talenta mewujud.
Ini berbeda, oleh karena itu, dari sekolah tak bahagia, yang bertumpu pada maksimalisasi beban kerja murid: yakni dengan menguantifi kasi keberhasilan belajar melalui beragam ujian dan nilai, yang tak peduli pada stres yang merusak rohani dan jasmani murid. Di sana belajar bisa berjam-jam dan bermain hanya sebentar. Belajar juga melulu berupa proses menghafal supaya bisa menjawab soal-soal ujian dan bukan proses memahami.
Khusus mengenai pendidikan Indonesia, dikutip bahwa besarnya beban belajar akademik murid cenderung menyebabkan stres. Pendidikan hanya fokus pada ’… standarisasi, nilai minimal, dan hasil belajar–karena belajar bukanlah untuk memanusiakan manusia’.
Keempat, sekolah bahagia berorientasi kerja sama. Di sekolah-sekolah dengan para murid mengaku bahagia, kolaborasi ternyata bukan hanya antarmurid, melainkan juga antara guru dan murid. Ini bisa berbentuk penelitian, performa, atau kegiatan kolaboratif lainnya.
Di sekolah tak bahagia, bukannya kolaborasi, warga sekolah sehari-hari bernapaskan persaingan, dengan ketakpedulian dan keakuan mahatuan bertakhta. Ini persis seperti yang ditulis Alvie Kohn pada 1986 dalam salah satu masterpiece-nya; ’No Contest: The Case Again Competition’.
Terakhir, survei UNESCO menemukan bahwa faktor guru amatlah menentukan. Guru-guru, di mata para murid sekolah bahagia, terasa betul memiliki kebaikan hati, semangat mengajar, dan mampu bersikap dan berlaku adil. Tidak itu saja, guru-guru, kata mereka, melayani dengan menginspirasi, berakal budi kreatif, dan menjadi teladan kebahagiaan itu sendiri.
Di sekolah tak bahagia, sebaliknya, guru-guru berwajah merengut dan boleh jadi bengis. Di sana ada kekakuan, ketidakramahan, pilih kasih, cuek, ketidaktulusan, dan cara mengajar kuno. Di mata murid-murid, guru macam itu justru dimusuhi dan menjadi mata air rasa takut.
Sebagai catatan akhir, siapa saja bisa mengklaim bahwa sebuah sekolah memiliki lima ciri sekolah bahagia ini. Bisa juga, secara simbolis, seperti kecenderungan di banyak sekolah–ada visi-misi, tujuan, program, banner, spanduk, gambar dinding, brosur, atau media peraga lainnya–yang bertulis atau bergambarkan simbol kebahagiaan.
Namun, supaya semua alatalat simbolis atau klaim itu jadi bermakna, perlu ada riset yang benar dan valid. Tentu hanya sekolah-sekolah yang dikelola dengan akal budi yang mungkin dan mau melakukannya.
Khairil Azhar
Divisi Pelatihan Pendidikan
Yayasan Sukma