Ujian Nasional dan PPDB 2018
MESKIPUN ujian nasional (UN) SMP sudah bukan lagi sebagai penentu kelulusan, DKI Jakarta dan bisa juga beberapa daerah lain masih tetap menggunakan hasilnya sebagai alat seleksi masuk SMA negeri. Daya tampung SMA negeri di DKI Jakarta memang masih terbatas sehingga nilai UN digunakan sebagai instrumen seleksi untuk merangking siswa sesuai dengan kuota bangku yang tersedia pada tiap-tiap SMA negeri.
Penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA DKI Jakarta tahun ini menyiapkan beberapa jalur utama. Jalur lokal (tersedia kuota bangku sebesar 55%), jalur umum (35%, yang dibagi menjadi 30% kuota bangku bagi warga Jakarta, dan 5% calon dari luar Jakarta), dan yang terakhir berupa sisa bangku, yang akan diperebutkan siswa yang gagal pada kedua jalur sebelumnya.
Dari ketiga fasilitas PPDB ini, jalur lokal–yang sudah berlangsung dari 25-28 Juni lalu–menjadi pusat perhatian masyarakat karena semangatnya memang untuk memberikan kesempatan pertama pada warga lokal yang berdomisili dalam radius yang sudah ditentukan dalam sistem untuk mendaftar ke SMA negeri pilihan.
Pola rayonisasi semacam ini terkesan lebih adil bagi warga Jakarta. Namun, karena kuota yang disediakan bagi warga lokal masih sangat terbatas (55%) dari total bangku yang tersedia dan peluangnya juga ditentukan nilai perolehan UN, bukan berdasarkan jarak tempat tinggal rumah dan sekolah sasaran, bangku SMA negeri menjadi sangat kompetitif.
Akibatnya, sistem PPDB ini sampai batas tertentu akan tetap bias terhadap siswa mampu (secara finansial), yang sebelumnya berkesempatan belajar di lingkungan sekolah yang lebih baik, sedangkan siswa yang kurang beruntung secara ekonomi–sebelumnya hanya bisa belajar di lingkungan sekolah-sekolah yang kualitasnya medioker–biasanya akan mengalami kesulitan untuk bersaing.
Panduan penilaian
Ujian Nasional 2018 desainnya dikembangkan untuk keperluan pemetaan mutu, yang hasilnya akan digunakan sebagai bahan pembinaan guna peningkatan mutu pendidikan. Namun, kenyataannya hasil UN sampai sejauh ini masih tetap digunakan untuk keperluan yang lain–termasuk sebagai instrumen seleksi masuk sekolah/pendidikan tinggi–dan umumnya tanpa didukung data akademik lainnya.
Hal ini bisa jadi disebabkan keterbatasan informasi dan pengetahuan sehingga hasil sebuah kegiatan penilaian dianggap bisa digunakan untuk kepentingan apa saja (one test fits for all).
Puspendik selaku produsen soal UN seyogianya membuat panduan (tes manual) tentang bagaimana seharusnya hasil UN ini ditafsirkan dan digunakan. Panduan juga menjelaskan informasi statistik tentang soal-soal tes yang akan digunakan pada tahun berjalan sehingga penggunaan hasil UN dilaksanakan dengan bijak dan benar. Penolakan masyarakat terhadap UN selama ini, antara lain diduga karena kurangnya informasi tentang cara menafsirkan dan memanfaatkan hasil UN secara benar dan transparan.
Untuk menyusun panduan perlu dilakukan studi validitas terhadap instrumen tes yang digunakan pada UN. Studi validitas diperlukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pemanfaatan hasil skor tes sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakannya ujian/penilaian. Contohnya dalam menyusun seperangkat tes sebagai alat ukur untuk kelulusan keterampilan bahasa Indonesia. Bagaimana cara menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dilakukan secara valid?
Untuk keperluan ini harus menyusun sejumlah pertanyaan, seperti apakah hasil skor tes itu sudah merupakan alat ukur yang sesuai (good measure) untuk mengukur keterampilan bahasa Indonesia? Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi ujian akhir adalah untuk memberikan sertifikasi (to certify) bahwa siswa sudah belajar atau menguasai keterampilan bahasa Indonesia sebagaimana dinyatakan (prescribed) dalam kurikulum sehingga bukti-bukti validitas yang akan ditunjukkan harus mampu menjamin bahwa skor yang diperoleh benar-benar telah menggambarkan keterampilan bahasa Indonesia sebagaimana yang dijabarkan dalam kurikulum.
Banyak bukti yang harus dikumpulkan untuk melakukan kegiatan interpretasi terhadap hasil skor tes. Harus dapat ditunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sesuai dengan tujuan pelajaran keterampilan bahasa Indonesia dalam kurikulum. Jumlah jawaban yang benar pada soal tes juga betul-betul sejalan dengan penekanan kegiatan pengajaran bahasa Indonesia pada kurikulum.
Lebih dari itu, harus mampu ditunjukkan bahwa subketerampilan membaca teks singkat yang tecermin dari kemampuan siswa menjawab dengan benar soal pilihan ganda, memiliki kualifikasi yang sama, apabila yang bersangkutan diberikan teks bacaan yang lebih panjang, atau membaca novel, artikel surat kabar, dan lainnya.
Selain itu juga harus mampu dibuktikan bahwa konten bacaan yang disajikan pada soal tes merupakan representasi dari isi bacaan yang dianggap penting dan menantang sehingga mampu menggali kemampuan membaca siswa secara lebih dalam dan ekstensif. Bukan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan bersifat superfisial, faktual, atau trivial.
Jika seluruh bukti tersebut tak mampu disajikan, validitas interpretasi yang dibuat terhadap hasil skor tes sangat lemah. Lebih lanjut, harus mampu dibuktikan bahwa skor yang tinggi yang diperoleh siswa bukan semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab soal dengan benar sebagai akibat dari format soal tes, pilihan ganda, tutorial khusus yang diberikan menjelang tes, menyontek, dan lainnya.
Sebaliknya, juga harus mampu ditunjukkan bahwa skor rendah yang diperoleh siswa bukan disebabkan faktor kegugupan pada diri siswa pada saat ujian. Selain itu juga harus mampu dijamin bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap kemampuan mereka menjawab soal tes dengan benar.
Semua faktor tersebut dapat merupakan ancaman terhadap interpretasi validitas sebuah alat ukur yang bersifat tunggal, seperti UN. Ketidakmampuan dalam menunjukkan berbagai bukti-bukti tersebut, hanya menunjukkan hasil ujian berupa skor untuk mengukur keterampilan bahasa Indonesia memiliki tingkat validitas yang rendah.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah diperlukan kemampuan untuk menunjukkan bukti dan penalaran yang logis dalam membuat keputusan pemanfaatan atas nilai hasil tes sehingga hanya dengan berpatokan pada hasil satu kali studi, tidak bisa diklaim bahwa tes yang dimiliki valid dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan.
Sebagaimana dikemukakan Nitko (2005), “A test may be valid for one purpose, but not for another.” Semoga instrumen UN yang digunakan selama ini sudah melalui uji validitas ketat seperti dijelaskan di atas sehingga apa yang dilakukan pengguna (users of UN results) sudah benar adanya. wallahualam.
Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma