VUCA!
ALEXA adalah salah satu fenomena dalam dunia yang berubah dengan cepat. Saat mulai dirilis di akhir 2014 oleh Amazon, Alexa–dalam produk Echo, Echo Dot, Echo Show, dan lainnya–dianggap telah menetapkan standar baru bagi cara paling alami manusia berinteraksi dengan teknologi, berbicara.
Alexa adalah kecerdasan buatan yang mampu berperan sebagai asisten personal dengan berbagai keterampilan yang dapat dikembangkan. Dengan kemampuan melakukan pengenalan suara (voice recognition), memutar musik, memesan makanan, menyusun perencanaan, mengatur alarm, memainkan audiobook, informasi cuaca, kemacetan dsb. Alexa adalah salah satu bukti perkembangan di bidang teknologi yang cepat dan (relatif) tak terduga.
Seperti halnya Rinna (LineMicrosoft Indonesia/2017) atau Siri (Ios Apple/2011), Alexa menghadirkan kemewahan teknologi tontonan fi ksi sains ala Star Trek yang sebelumnya tampak ’terlalu jauh’ untuk menjadi kenyataan.
Segera setelah dirilis, lebih dari sepuluh juta produk yang didukung teknologi Alexa terjual habis. Ia juga memancing persaingan baru di pasar otomatisasi peralatan rumah tangga, hiburan keluarga dan memengaruhi cara orang berbelanja.
Google dengan Google Home, produk Apple yang dikembangkan berbasis Siri, dan Microsoft adalah pesaing potensial Alexa yang juga terus mengembangkan kecerdasan buatan (MIT Tecnology Review, 2017). Bisa dibayangkan, kapasitas–disebut sebagai skill, saat ini setidaknya sekitar 15 ribu skill telah dikembangkan, yang mampu dilakukan dan dikembangkan sendiri oleh Alexa–produk lainnya akan berpengaruh terhadap banyak hal dalam kehidupan manusia, mulai dari aspek terkecil dalam rumah.
Setelah berbagai bentuk disruption yang didorong inovasi teknologi–terutama sekitar 15-20 tahun terakhir (Uber, online shopping, dan lainnya-kehidupan manusia kembali ’dikagetkan’ banyak penemuan yang kadang tidak disadari memengaruhi banyak aspek kehidupan.
Mengenal VUCA
Siri, Rinna, atau Alexa adalah beberapa representasi perubahan dunia yang cepat, tak terduga, kompleks dan mengejutkan. Ia adalah produk dunia VUCA. Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh US Army War College untuk menjelaskan dunia multilateral pasca-Perang Dingin yang semakin rentan, tak pasti, rumit dan membingungkan.
Istilah ini kemudian diadopsi para pelaku bisnis untuk menggambarkan kekacauan, turbulensi. dan kecepatan perubahan dalam dunia bisnis yang dikenal sebagai ’new normal’, dengan banyak model bisnis menjadi tampak ketinggalan zaman secara cepat (Lawrence, 2013). Situasi yang kemudian dikenal sebagai dunia VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).
Volatility merujuk perubahan yang terjadi dengan sangat cepat, layaknya turbulensi, perubahan menjadi fenomena yang terjadi lebih sering daripada sebelumnya. Situasi dan informasi tentang sebuah kejadian tersedia dan dapat dipahami. Namun, perubahan yang semakin kerap terjadi sehingga pola atas hakikat, kecepatan, besaran, dan derajat pentingnya perubahan sulit untuk ditebak.
Uncertainty, berkaitan dengan semakin sulitnya melakukan prediksi apakah sebuah tindakan atau kejadian berpengaruh signifi kan di masa mendatang. Complexity, semakin banyak dan rumitnya memahami faktor-faktor penyebab dan cara mengatasi persoalan. Ambiguity, perubahan yang terjadi menghadirkan kebingungan dan ketidakjelasan dalam memaknai persoalan.
Dunia VUCA adalah tantangan yang tak terelakkan sekaligus sebuah keniscayaan dalam sejarah perkembangan manusia. Ia menantang kesadaran dan kemampuan manusia untuk meresponsnya.
Bob Johansen, peneliti pada Institute for the Future dan penulis Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for an Uncertain World, menawarkan ’obat penawar’ untuk menghadapi dunia VUCA. ’Obat penawar’ itu adalah juga disebut VUCA (vision, understanding, clarity, agility).
Sebagai tanggapan atas perubahan yang cepat, visi diperlukan untuk merespons ketidakpastian. Mengetahui apa yang ingin dicapai di masa depan membantu pilihan atas aksi untuk merespons perubahan yang cepat.
Understanding, pemahaman yang baik akan perubahan dapat dihasilkan dengan meningkatkan kemampuan mendengar dan melihat persoalan bahkan di luar area persoalan itu sendiri.
Clarity, kerumitan persoalan dapat hanya dapat diatasi dengan mengembangkan kemampuan untuk memahami ’kekacauan’ yang terjadi. Kemampuan untuk memahami kekacauan akan memicu kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Agility berkaitan dengan kelincahan melihat pilihan-pilihan solusi atas perubahan dan bagaimana menerapkannya.
Organisasi yang belajar
Lalu bagaimana seharusnya pendidikan dikelola dalam dunia yang bergerak cepat, tak terduga, rumit, dan membingungkan? Bagaimana proses belajar mampu merespons dengan layak dalam dunia VUCA? Bagaimana mengajarkan pemahaman atas kecepatan, kejut ankejutan, dan ketidakpastian yang hadir dalam kehidupan mereka? Bagaimana membangun dan mengembangkan vision, understanding, clarity dan agility?
Membangun sebuah sistem pendidikan yang lebih terbuka, organik, dan kompleks sepertinya menjadi keniscayaan dunia VUCA. Sebuah sistem yang mampu berinteraksi dengan dunia yang terus berubah, berdamai secara kreatif dengan perubahan serta menyambut baik–tidak hanya menoleransir–situasi yang kompleks dan tak menentu (Weiner, 2016).
Organisasi yang terus mengembangkan kapasitasnya untuk belajar. Struktur dan proses belajar yang kaku dan sentralistis bukan lagi menjadi jawaban atas tantangan dunia VUCA. Layaknya pergeseran yang terjadi dalam dunia bisnis–dari masa kepemilikan ke zaman berbagi–pendidikan sudah harus dikelola dengan menimbang prinsip-prinsip kolaborasi, keterbukaan dan partisipasi.
Dalam praktiknya, pendidik lebih berperan sebagai fasilitator daripada sumber pengetahuan. Bukan lagi sebagai pengajar ’apa yang harus dipikirkan’ tetapi lebih kepada ’bagaimana berpikir seharusnya’.
Institusi pendidikan harus menjadi ’organisasi yang terus belajar’, termasuk belajar dari perubahan. Kemampuan beradaptasi dengan cepat, keter bukaan dengan cara-cara berpikir atau metode-metode pengelolaan pendidikan baru, lebih kreatif dan inovatif, serta keikutsertaan semua pihak dalam pengelolaan pendidikan menjadi keharusan. Karena institusi pendidikan yang merespons dunia VUCA dengan cara berpikir lama dipastikan hanya menunggu waktu menjadi kuno dan ketinggalan.
Kebanyakan institusi pendidikan cenderung memiliki sistem yang mekanis ketimbang organis. Struktur organisasi dan hierarki yang kaku dan berbagai batasan yang justru menjadi ancaman utama bagi munculnya partisipasi, ide kreatif dan otonomi pelaku pendidikan.
Di sekolah misalnya, masih mudah ditemukan praktik-praktik proses belajar yang terjebak ke dalam kebekuan inisiatif dan rendahnya penghargaan terhadap kompleksitas potensi yang dimiliki mereka yang belajar.
Metode belajar yang masih menghafal daripada menganalisis, bertumpu pada satu atau sedikit sumber daripada keterlibatan langsung di lapangan dan menemukan pengetahuan bersama, model penilaian konvensional berbasis tes tertulis daripada proyek atas inisiatif bersama mereka yang belajar, dan lainnya.
Menumbuhkan kesadaran akan dunia VUCA, belajar dan melatih keterampilan meresponsnya perlu ditimbang menjadi agenda serius demi masa depan lebih baik. Sebagai sebuah organisasi, institusi pendidikan membutuhkan kemampuan dan kerelaan berubah dan beradaptasi dengan terus belajar, belajar, dan belajar. Bahkan dari ketidakpastian, kesalahan dan kegagalan, Jika tidak ia akan gagap, digilas perubahan dan dilupakan.
Victor Yasadhana, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma | Media Indonesia, 5 Maret 2018