TAHUN 2018 dan 2019 merupakan tahun hajatan politik bagi bangsa Indonesia. Pada 2018 beberapa provinsi dan kabupaten serta kota akan melangsungkan pilkada (gubernur, bupati, wali kota dan para wakilnya). Partai-partai politik unjuk diri dengan memasang umbul-umbul, baliho, spanduk, foto kandidat, ungkapan retorik kampanye (kampanye damai, jujur, dll), sampai debat antartokoh parpol di televisi.
Partai-partai peserta pemilu juga telah mulai memperkenalkan gambar capres atau cawapres yang digadang-gadang sembari menyiapkan jurus-jurus untuk memenangkan pemilu. Usaha masing-masing partai peserta pilkada dan pemilu menyebabkan suhu politik mulai memanas.
Di tengah euforia di atas, berbagai kasus mega korupsi masih dalam proses penanganan pihak berwenang. Kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai dan pejabat daerah mewarnai pesta demokrasi. Beberapa kasus itu menjadi bahan refleksi tentang ‘gawe-gawe politik’, moral atau etika (akhlak) berpolitik, serta pendidikan politik.
Banyak pertanyaan kita dapat ajukan sebagai refleksi, antara lain, apakah pilkada, pileg dan pilpres merupakan ritual kenegaraan lima tahunan semata atau proses edukasi agar seluruh warga bangsa semakin dewasa bermasyarakat, bernegara, dan memiliki komitmen untuk mewujudkan tujuan konstitutional berbangsa dan bernegara RI yang telah diletakkan oleh founding fathers?
Secara khusus, selama ini, apakah penerapan pendidikan politik sudah sampai pada tataran substantif dalam perhelatan politik? Siapa yang berkewajiban melaksanakan pendidikan politik?
Pendidikan politik
Pendidikan politik sering juga disebut pembelajaran atau sosialisasi politik yang secara umum didefinisikan sebagai proses pembentukan, pengembangan sikap dan perilaku politik. Pengertian pendidikan politik sangat tergantung perspektif yang digunakan seseorang.
Dalam perspektif ‘formalis’, pendidikan politik diwujudkan, antara lain, dengan keterlibatan publik atau warga bangsa yang memiliki hak pilih dalam sebuah sistem elektorat. Implikasi perspektif ini terdapat dua kelompok warga bangsa, yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok subordinat. Kelompok pertama yang jumlahnya sedikit menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini berbeda dengan pandangan para “substantivis”. Bagi substantivis, pendidikan politik tidak dibatasi pengertian formal politik seperti keterlibatan dalam kampanye parpol dan memberikan suara dalam pemilu/pilkada (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Orit: 2004).
Pendidikan politik tidak hanya memberi seseorang kemampuan memberi pengaruh terhadap orang tentang persoalan-persoalan politik dan keterlibatan dalam diskusi politik. Akan tetapi, juga memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan memahami persoalan politik dalam pengertian yang luas, termasuk pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman nilai-nilai sosial, budaya, dan politik yang dianut seseorang, kelompok atau komunitas. Pendidikan politik menumbuhkan keterlibatan seseorang melakukan deliberasi tentang persoalan-persoalan kehidupan dan dalam melakukan aksi untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang muncul. (Adelabu dan Akinsolu: 2009; Clarke: 2007; Davies: 2005).
Karena itu, misi pendidikan politik tidak hanya mendorong seseorang terlibat dalam kegiatan formal politik atau proses elektorat. Akan tetapi, juga dalam menghadapi persoalan kehidupan, karena politik ialah “… how you live in your life, not whom you vote for. All aspects of human experience have a political dimension.” (Ginsburg, 1996).
Misi substantif pendidikan politik
Terdapat tiga misi atau fungsi utama pendidikan politik. Pertama, pendidikan politik sebagai pendidikan emosi politik. Emosi dalam konteks ini bukan dalam pengertian private domain, yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada konsepsi diri/syahwat berkuasa/emosi dalam pengertian kebanyakan orang, yaitu marah.
Emosi dimaknai sebagai dorongan berupa simpati dan kasih sayang berkaitan dengan alturisme dan solidatitas sosial. Serta keputusan tentang kehidupan (Hogget; Thompson: 2012; Lewis: 2008).
Pendidikan politik adalah membangun komitmen mewujudkan keadilan, rasa solidaritas terhadap kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan meningkatkan kemampuan serta sikap tidak toleran terhadap segala tindakan kekerasan dan ketidakadilan (Lewis: 2008; Nussbaum: 2013)
Kedua, pendidikan politik adalah revitalisasi pemahaman tentang politik dan being political. Pendidikan politik bukan mengajarkan peserta didik tentang berapa kursi di DPR, MPR atau DPD, atau apa DPR, MPR dan DPD (tata kelola dan fungsi). Akan tetapi, memberikan pemahaman atau kesadaran bahwa fungsi-fungsi kekuasaan itu sebagai a constitutive force. Bagaimana pembagian atau pertarungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan dimanfaatkan oleh wakil rakyat dan untuk apa dan siapa?
Pendidikan politik mengandung kesadaran kritis tentang politik (Ruitenberg, n.a; Dumas dan Dumas: 1996; Davies: 2005). Being political diwujudkan dalam kesediaan mengambil peran dalam kehidupan sosial, seperti menghadapi ketidakadilan yang muncul dalam kehidupan di mana seseorang berada (Wringe: 2012).
Ketiga, pendidikan politik adalah upaya membangun kesadaran politik atau melek politik. Melek politik mempunyai hubungan dengan keterampilan, isu dan aksi penerapan politik yang demokratis, pendidikan global yang dicirikan dengan pembelajaran yang efektif dan pendekatan holistik tentang isu-isu dunia, pendidikan kewargabangsaan yang dikaitkan dengan kesukarelaan untuk berbuat sesuatu dalam masyarakat (Davies: 2005).
Melek politik ditunjukkan melalui kemampuan seseorang membaca landscape politik dalam konfigurasi masa kini maupun masa lalu. Dalam pembelajaran politik, peserta didik didorong memahami atau membaca tatanan sosial dan politik melalui–misalnya–deliberasi tentang kebebasan, persamaan dan relasi sosial yang hegemonik.
Melek politik adalah kemampuan memahami konflik kepentingan dan cita-cita dari masing-masing kelompok. Melek politik dimanifestasikan dalam sikap-sikap menghargai kebebasan, persamaan, toleransi, menghargai keyakinan dan pemikiran orang lain (Clarke: 2007)
Akhirnya, semoga para pelaku politik tidak terhenti pada pemahaman dan praktik formal politik lantaran kepentingan sesaat sehingga tiga misi (fungsi) pendidikan politik dalam pengertian luas seperti di atas diabaikan. Pendidikan politik selayaknya tidak hanya digarap menjelang pemilu atau pilkada dalam bentuk kampanye atau “jual beli suara” (politik uang) (Fachruddin: 2006).
Karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha lebih yang lebih baik untuk mewujudkan misi pendidikan politik. Serta selalu mengkaji ulang perhelatan politik dengan parameter dan indikator yang mencerminkan misi pendidikan politik.
Wallahualam.
Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma