Memaksa Guru Menulis
BAGI sebagian guru, menulis ialah aktivitas atau bahkan hobi yang mengasyikkan. Larangan menulis, bagi mereka, sama saja dengan dilarang berbicara. Ibarat mulut ditutup dengan lakban. Namun, bagi sebagian guru lainnya, menulis adalah beban. Kewajiban menulis dirasakan sebagai beban berat dan masih menjadi momok yang menakutkan. Saat mengajar di kelas, guru sanggup berbicara dari pagi sampai siang. Namun, jika harus menulis, keluhan yang sering terdengar ialah, ”Bisa menulis satu alinea saja sudah keringatan.”
Sengaja tulisan ini bertajuk memaksa guru menulis karena dalam pikiran banyak orang, memaksa berarti eksternal. Sumber pemaksa selalu diasosiasikan berasal dari luar diri, orang atau lembaga lain. Kita terpaksa menulis karena dipaksa pihak lain. Padahal, sebenarnya guru dapat memaksa diri sendiri untuk selalu menulis jika ingin meninggalkan warisan pengetahuan dan kearifan pada ke generasi penerus. Melalui tulisan, pengalaman dan pemikiran menjadi abadi.
Mental block
Keluhan yang sering terdengar di lapangan, ”Saya tidak bisa menulis,” atau ”Menulis itu sulit sekali.” Keluhan itu dapat dipastikan tidak memiliki basis yang kuat. Sebagian besar guru ialah mereka yang telah lulus S-1. Bahkan kini banyak guru yang telah menyelesaikan pendidikan strata dua bahkan tiga. Itu berarti kemampuan menulis mereka telah teruji. Guru telah lulus baik dari sisi konten akademis maupun kemampuannya dalam menuangkan gagasan secara tertulis.
Mereka terbukti sanggup menulis makalah, menyelesaikan penulisan skripsi, bahkan tesis dan disertasi. Jika menulis puluhan bahkan ratusan halaman untuk skripsi dapat dilakukan dengan baik, apa susahnya menulis tiga halaman untuk artikel koran, atau 15 hingga 20 halaman untuk sebuah jurnal? Guru senior dengan segudang pengalaman mengajar selama puluhan tahun, mengapa tidak ada yang dapat dituliskan menjadi sebuah buku?
Rupanya persoalan bukan pada kemampuan, melainkan lebih kepada kendala mental yang dihadapi. Ada semacam ketakutan kalau tulisannya dianggap jelek. Gejala semacam ini merupakan sindrom trying to be always ‘right’. Salah satu dampak buruk dari model pendidikan formal kita selama ini ialah fokusnya yang terlalu kuat pada keinginan untuk selalu benar, tidak memberi cukup ruang untuk bereksperimen.
Meskipun pendekatan ini membantu kita melakukan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat, cara ini berakibat munculnya kesulitan ketika harus menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih, ambigu.
Kendala mental kedua ialah logical thinking. Tentu saja logika ialah dasar bagi banyak keputusan dan sangat penting untuk proses pemecahan masalah. Namun, logika jika dipakai terlalu dini dapat membunuh aliran kreatif ide-ide baru. Kita semestinya dapat meninggalkan logika untuk sementara ‘di luar pintu’. Ada waktu dan tempatnya untuk logika dalam proses penulisan, tapi tidak setiap waktu.
Sebagian besar orang menghabiskan 99% waktunya dalam tahap yang selalu logis. Oleh karena itu, guru butuh time out dari logika sehingga mampu mendapatkan banyak ide yang akan ditulis.
Membiarkan pikiran kita ‘bermain’ lepas juga merupakan cara efektif untuk merangsang pemikiran kreatif. Sayangnya banyak guru memisahkan bermain dari pekerjaan. Kesuntukan guru mendidik anak di kelas, dalam banyak kasus, tidak menyisakan pikiran relaks untuk bermain-main dengan aneka ide yang berseliweran. Padahal, pada pengembangan tulisan, studi menunjukkan orang akan memunculkan ide dan saran lebih kreatif ketika mereka memiliki draf awal untuk didiskusikan meskipun draf awal ini belum sempurna. Kuncinya ialah memiliki sesuatu yang membantu kita menyempurnakan tulisan, mengembangkan ide-ide selanjutnya yang lebih baik.
Bagi sebagian guru, menulis dianggap sebagai that’s not my job. Tugas guru ya mengajar, bukan menulis. Dalam era hiperspesialisasi seperti sekarang ini, banyak orang yang terjebak hanya pada bidang tugas masing-masing dan enggan untuk menjelajah ke bidang-bidang lain di luar itu.
Padahal, orang kreatif, yang mampu menulis apa pun, perlu penjelajahan yang luas. Know-it-all, ingin tahu segala, menjadi cikal bakal bagi tumbuh suburnya kreativitas kepenulisan. Tentu, kita harus mengetahui hal-hal khusus dalam bidang kita masingmasing. Namun, jika kita juga melihat diri sendiri sebagai penjelajah, kita akan menjadi penulis yang produktif.
Being a ‘serious’ person acap kali juga menjadi kendala mental. Kebanyakan guru takut terlihat bodoh, dan inilah yang merupakan salah satu kendala terbesar untuk berpikir kreatif, menghasilkan ide-ide baru yang hendak dituangkan dalam tulisan. Kita tidak menulis karena takut dikritik. Setiap orang cenderung menjadi kritikus, bukan penulis.
Banyak ide baru diserang dan cepat dijatuhkan. Dampaknya lebih merusak ketika seorang senior dalam sebuah diskusi segera menjatuhkan ide yang baru dimunculkan. Orang sering kurang menyadari bahwa cara terbaik untuk dapat menyebabkan sembelit aliran pemikiran kreatif ialah dengan menjatuhkan atau mengkritik saran baru. Sebaiknya kita bersikap tenang, mendengarkan, dan memperhatikan apa yang orang lain katakan, tetapi tetap terus menulis.
Tiga rangkaian
Sebenarnya menulis merupakan rangkaian proses yang setidaknya terdiri dari tiga hal: membaca, merenung, dan menulis. Ketiganya ialah keterampilan. Rendahnya tradisi membaca, dan kebiasaan berpikir dangkal selalu menyulitkan bagi siapa pun untuk menulis. Membaca tidak berarti melulu membaca buku. Namun, juga membaca pengalaman, membaca fenomena yang terjadi dalam kehidupan. Semakin sering keterampilan membaca diasah, semakin banyak bahan yang dapat ditulis.
Kedua, menyangkut kemampuan merenung. Dalam bahasa psikologi kapasitas itu disebut deep thinking, kesanggupan untuk berpikir mendalam. Apa pun yang dibaca diamati dan dialami selalu dipikirkan secara mendalam, mengapa ini terjadi dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa itu. Perbedaan kemampuan guru dalam berpikir mendalam itu sangat menentukan seberapa banyak kearifan yang dapat mereka tunjukkan dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, maupun profesional mereka.
Ketiga, kebiasaan menulis. Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Pepatah itu dapat berarti perbuatan buruk menjadi tidak terasa lagi keburukannya bila telah biasa dilakukan, atau berbagai kesulitan tidak akan terasa lagi manakala sudah biasa.
Namun, dalam konteks kebiasaan menulis, pepatah itu berarti sesuatu yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan menjadi mudah. Menulis menjadi pekerjaan yang sangat mudah dan mengasyikkan bagi yang sudah membiasakannya. Karena itu, pilihannya hanya menulis atau habis!
Khoiruddin Bashori, Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta | MI, 5 Februari 2018