Menaklukkan Perundungan di Sekolah
MARAKNYA kekerasan yang terjadi di sekolah menyita perhatian masyarakat terutama di kalangan orangtua. Mengapa bullying (perundung) terjadi di sekolah? Apa yang dapat dilakukan guru untuk meminimalkan perundungan di sekolah?
Sekolah merupakan sarana mendidik generasi muda penerus bangsa. Tempat siswa dididik secara akademis, afektif, akhlak, dan tingkah laku. Memanusiakan manusia juga salah satu fungsi sekolah. Keberhasilan seorang siswa di masa depan pun tidak luput dari kontribusi proses belajar di sekolah. Namun, apa yang terjadi jika sekolah justru menjadi tempat perundungan berkembang? Siapa yang harus bertanggung jawab ketika praktik perundungan terjadi?
Sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu melalui serangkaian proses belajar mengajar. Bagian terpenting dari proses itu bukan saja tentang bagaimana ilmu didapat atau pencapaian yang bisa diraih, melainkan juga bagaimana interaksi yang berlangsung antara guru dan murid dalam proses itu dapat menjamin keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan.
Dalam proses ini kemampuan profesional guru menjalin hubungan emosional dengan siswa menjadi kunci. Tugas guru tidak sekadar berkaitan perannya sebagai subyek yang menyampaikan materi pembelajaran dan melakukan evaluasi dan penilaian. Tugas sesungguhnya ialah mendidik. Sebagai pendidik, guru adalah anutan, teladan, orangtua, sekaligus sahabat siswa. Dalam konteks maraknya praktik kekerasan di sekolah, mampukah guru menjadi panutan dan teladan bagi praktik nirkekerasan? Sudahkah guru menjadi pendidik sesungguhnya?
Sebagai seorang pendidik, guru bertanggung jawab turut membentuk karakter siswa menuntun siswa membedakan hal baik dan buruk dan mempersiapkan mereka menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti. Jika guru mengajar dengan baik, murid akan berhasil karena pengajarannya yang luar biasa.
Ketika siswa mereka kemudian mendapatkan kualifi kasi dan keterampilan yang lebih, bisa dipastikan hal itu juga disebabkan keahlian guru dalam mengajar. Saat murid pada akhirnya memiliki karier dan kehidupan yang baik, hal itu dibangun berdasarkan pengajaran guru yang baik. Prinsipnya guru yang baik menyentuh kehidupan manusia selamanya (Petty, 2009).
Karena itu, dalam kasus terjadinya berbagai praktik kekerasan–termasuk perundungan–guru sering menjadi pihak yang ‘dipertanyakan dan diminta’ pertanggungjawabannya. ”Mengapa perundungan bisa terjadi? Apa yang dilakukan sekolah dan guru saat itu terjadi?” Layaknya pencapaian akademik siswa, baik kegagalan maupun keberhasilan akademik siswa hampir selalu dikaitkan dengan kontribusi guru. Begitu juga terjadinya praktik perundungan, dengan mudah dapat dianggap sebagai kegagalan guru mendidik muridnya. Guru dianggap tidak memiliki kepedulian memadai sehingga praktik perundungan dapat terjadi.
Perundungan yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah tidaklah muncul begitu saja. Sebagai ilustrasi, penulis memiliki pengalaman dengan praktik perundungan di kelas yang menimpa seorang murid perempuan. Ia diberi julukan yang tidak baik dan tidak disukainya oleh beberapa rekan sekelasnya. Ejekan yang diterimanya juga diikuti dengan pengucilan yang membuatnya tidak lagi bersemangat dalam proses belajar, malu tampil di depan kelas dan tersisih.
Dari pengalaman itu, penulis menyadari bahwa kepedulian seorang guru terhadap lingkungan sekitar dan perhatian lebih terhadap siswa sangat dibutuhkan. Hal-hal kecil tidak akan luput dari pandangan guru ketika guru peduli dan berada di sisi siswa. Memantau, memperhatikan, dan mengobservasi tingkah laku siswa juga salah satu tanggung jawab guru. Perundungan bisa berawal dari banyak hal yang sering dianggap sepele, seperti saling mengejek antarsiswa. Kepekaan dan kepedulian guru menjadi penting karena mereka dapat memainkan pe ran penting melawan praktik perundungan.
Kerja sama
Dalam upaya meminimalkan perundungan yang terjadi di sekolah, seluruh elemen yang terkait dengan sekolah harus terlibat. Sekolah, guru, siswa, dan orangtua memiliki peran masing-masing dalam meminimalkan perundungan. Pertama, melalui pemantauan dan pendekatan dengan siswa, guru dapat mengaktifkan bystander. Bystander merupakan seseorang yang tidak terlibat sebagai baik pelaku maupun korban dalam kekerasan.
Saat perundungan terjadi, selain pelaku dan korban, bystander ialah salah satu bagian dari tindak perundungan sebagai saksi (penonton) terjadinya hal itu tanpa melakukan apa pun. Sebenarnya, bystander memiliki peran tidak kalah penting dalam upaya menekan terjadinya perundungan karena bystander ialah aktor penting dalam menghalangi dampak dan kerusakan dari perundung an (Padgett dan Notar, 2013).
Kesadaran siswa (bystander) akan peran penting mereka terhadap penurunan angka terjadinya perundungan dapat ditingkatkan dengan memberikan pemahaman dini tentang perundungan. Dengan demikian, siswa yang tidak terlibat tidak hanya berperan sebagai penonton. Sama halnya dengan guru, siswa sebagai bystander juga akan memantau situasi sekitar dan melaporkannya kepada guru.
Kedekatan yang dibangun guru dengan siswa dapat dijadikan sebagai alat untuk bekerja sama memantau peringatan dini terjadinya kekerasan. Guru sebagai pendidik, karena itu, perlu memahami siswa, menjadi pendengar yang baik, serta membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dengan mengembangkan kemampuan semacam itu, tandatanda kemunculan praktik perundungan–dan bentuk kekerasan lainnya–di kalangan siswa akan terdeteksi dengan sendirinya.
Kedua, sekolah memiliki komitmen menyusun, memiliki, dan menjalankan aturan dan larangan segala bentuk praktik perundungan. Seluruh elemen di sekolah harus bekerja sama menciptakan budaya bebas perundungan. Dengan membangun budaya itu, praktik-praktik perundungan tidak akan ditoleransi terjadi di sekolah. Budaya itu yang akan menjadi pengingat dan tuntunan siswa di sekolah untuk menjauhi atau bahkan melawan segala bentuk praktik perundungan.
Ketiga, melalui sekolah, guru bekerja sama dengan orangtua mengadakan sosialisasi dan pembekalan tentang kekerasan serta cara mengatasinya. Guru juga menginformasikan perkembangan anak di sekolah kepada orangtua terkait dengan perubahan perilaku yang diduga tanda peringatan terjadinya perundungan. Sebagai tindak lanjut dari informasi yang diberikan guru, orangtua berkomunikasi secara langsung dengan siswa di rumah. Bertanya dan berdiskusi tentang masalah dan kendala di sekolah. Kerja sama dan kepedulian guru dan orangtua terhadap siswa menjadi salah satu cara mendeteksi praktik perundungan di sekolah.
Pencegahan terhadap intimidasi di sekolah harus menjadi isu prioritas sekolah. Metode pengurangan intimidasi yang paling efektif ialah melibatkan pendekatan keseluruhan sekolah (Dake, dkk., 2003). Dengan demikian, kerja sama seluruh elemen sekolah itu akan sangat membantu meminimalkan perundungan yang terjadi.
Kepedulian sekolah, guru, siswa, dan orangtua dalam menjalankan peran masingmasing pun turut mempermudah pencegahan terjadinya perundungan. Kombinasi antara kerja sama dan kepedulian ialah langkah penting menuju lingkungan belajar yang tidak menoleransi praktik-praktik perundungan. Sekolah tanpa perundungan akan menjadi tempat ternyaman bagi siswa menuntut ilmu dan membentuk karakter menjadi pribadi lebih baik.n siswa di sekolah untuk menjauhi atau bahkan melawan segala bentuk praktik perundungan.
Suci Aulia Zahman
Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe
Penerima Beasiswa Commissioned Master Degree Program in
Teacher Education Yayasan Sukma di Tampere University, Finlandia