Westoxification
“AMBILLAH hikmah itu dari mana pun ia tumbuh.” (Al-Hadith)
NOVEMBER lalu ketika Presiden Jokowi memimpin rapat tentang sekolah vokasi, beliau sudah melontarkan gagasan pentingnya universitas atau akademi politeknik asing dibuka di Indonesia.
Hal itu ditanggapi secara spontan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sebagai suatu keniscayaan untuk menjawab tantangan perubahan yang tak dapat ditolak. Namun, menurut Mendikbud, ganjalan utamanya justru di pranata hukum yang mengatur pendidikan nasional kita. Baik UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, maupun UU Pendidikan Tinggi masih tumpang-tindih. (Detiknews, 16/11/17).
Belum lama ini, isu PT asing membuka cabang di Tanah Air kembali menghangat ketika Kemenristek-Dikti secara eksplisit membuka lampu hijau untuk kemungkinan dibukanya PT asing itu. Namun, Menristek-Dikti Mohamad Nasir sepertinya sadar isu ini pasti akan mengundang perdebatan yang keras. Karena itu, cepat-cepat dia menyatakan kebijakan itu bukanlah hendak menghidupkan model penjajahan baru (neocolonialism) karena yang dikehendaki pemerintah ialah munculnya kolaborasi antara PT asing dengan PT di Indonesia untuk membuka lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan lebih menjanjikan.
Menurutnya, beberapa universitas papan atas di luar negeri sudah menyatakan kesediaan untuk membuka cabang di RI, di antaranya Universitas Cambridge di Inggris serta Universitas Melbourne dan Universitas Queensland di Australia.
Terlepas dari pro-kontra, pembukaan lembaga pendidikan asing di Tanah Air memang selalu saja menggelitik kritisisme kita. Di satu sisi, pemerintah boleh saja menerapkan terapi kejut untuk membangkitkan lembaga pendidikan (tinggi) kita yang sekadar jalan di tempat. Namun, sejatinya suara-suara liar penolakan itu mesti dipertimbangkan juga karena kenyataan rendahnya daya saing lembaga pendidikan kita menghadapi arus globalisasi yang semakin deras memasuki relung publik negeri ini.
Globalisasi pendidikan
Globalisasi selalu dihubungkan dengan realitas ketidakberdayaan dunia Timur dalam menghadapi air bandang pengaruh Barat. Meski ini sudah berlangsung sejak zaman lampau, globalisasi ternyata tidak sesederhana melipat kertas. Selalu saja muncul korban, utamanya mereka yang berperan sebagai pihak yang lemah.
Sebagaimana soal PT asing, asosiasi perguruan tinggi swasta (Aptisi) sejak awal menolaknya. Mereka keberatan lantaran pembukaan PT asing itu tidak lebih dari refleksi attitude pemerintah yang selalu mementingkan lembaga PT negeri atau PT swasta yang kuat dan bermodal besar ketimbang PT swasta yang sebagian besar belum kompetitif. Sejatinya, sikap Aptisi itu gambaran nyata kekhawatiran sebagian besar kita terhadap arus globalisasi pendidikan tinggi.
Globalisasi yang merembes ke semua area kehidupan bukanlah persoalan yang mudah untuk menghadapinya. Apalagi, melihat kenyataan kelemahan di hampir semua lini kelembagaan lokal kita. Dalam hal ini, gerak globalisasi terbuncah dalam bentuk kecenderungan kognitif masyarakat yang melihat Barat sebagai ‘juragan budaya’ yang selalu memiliki kelebihan ketimbang budaya lokal yang lahir dari dunia yang sumpek dan basi.
Hal ini tampak di sebagian argumen kelompok yang reseptif terhadap ide PT asing di Indonesia. Kesadaran akan ketertinggalan mutu sistem pendidikan kita dapat dipecahkan dengan mengimpor lembaga pendidikan Barat yang notabene lebih maju dalam semua lininya.
Inilah mengapa bagi para penolak hegemoni Barat, globalisasi itu dipadankan dengan westoksifikasi (westoxification), bahwa gelombang pembaratan yang terjadi di belahan dunia ketiga itu muncul bukan sekadar aliran pengaruh yang masuk tanpa membawa muatan makna apa-apa, melainkan juga lebih karena ideologi inferioritas bangsa Timur yang melihat Barat sebagai ras unggul dalam segala bidang kehidupan.
Jika demikian, arus globalisasi itu tak ubahnya luapan pengaruh budaya luar yang bersifat toksik karena budaya Barat yang masuk ke masyarakat berfungsi seperti racun yang mematikan nilai-nilai keluhuran yang berasal dari bumi sendiri. Di sini jika kita mencanangkan membuka cabang-cabang PT asing di negeri ini, itu semata karena kebutuhan kita untuk meniru dan mengadopsi sistem pendidikan Barat yang jauh lebih maju dan efektif.
Barat di sini dipahami sebagai arena, tempat orang-orang cerdas dan berkualitas tinggi dalam memproduksi ilmu pengetahuan harus kita ikuti sepenuhnya agar bangsa kita meraih kemajuan dan keunggulan sejajar, meski, karena itu kita mematikan budaya lokal sendiri.
Bagaimana seharusnya?
Tidak bisa kita menolak globalisasi, pun tidak seharusnya kita membebek nilai-nilai asing yang masuk melalui kanal globalisasi itu. Seorang pemikir Iran masa prarevolusi, Jalal Al-e Ahmad, sudah seawal 1960-an mengingatkan dunia Timur (Islam) akan bahaya perilaku reseptif terhadap nilai-nilai dari luar (Barat) tanpa memahami kandungan historisitas yang melatari budaya Barat itu (Shirin S Deylami, In the Face of the Machine, 2011).
Westoksifikasi muncul karena pandangan yang binaris antara Barat dan Timur. Barat baik, maju, dan serbaunggul, sedangkan Timur terbelakang dan jumud. Kemudian ia melahirkan sikap mengikuti tanpa reserve terhadap Barat. Karenanya, yang harus kita lakukan ialah menumbuhkan kesadaran metodologis dalam menghadapi globalisasi itu.
Mengikuti Jalal Al-e Ahmad, beberapa langkah harus kita ikuti: (1) pemahaman matang terhadap sejarah masyarakat Barat. (2) Pengadopsian semangat intelektualitas Barat. (3) Meningkatkan kemampuan diri untuk berdiri sejajar dengan Barat. Ketiga langkah itu memberikan jaminan kemampuan merespons secara positif arus globalisasi itu.
Jika ini diterapkan dalam hal globalisasi pendidikan yang telah dan akan terus menggerus nilai-nilai lokal masyarakat kita, pengaruh pendidikan asing itu hanya bisa kita hadapi dengan kesadaran yang berpusat pada tiga aras metodologis, yaitu (1) sebelum kita mengadopsi nilai-nilai pendidikan Barat, kita harus memahami dahulu latar budaya dan nilai yang terkandung dalam rentetan sejarah masyarakat Barat yang melahirkan sistem pendidikan itu.
(2) Kita haru menumbuhkan kesadaran pentingnya nilai-nilai intelektualitas modern bagi masyarakat kita. (3) Secara terus-menerus kita berusaha meningkatkan kecerdasan seluruh masyarakat agar mampu berhadapan dengan masyarakat bangsa lain tanpa harus meninggalkan kecerdasan lokal yang sudah mengakar.
Walhasil, ide pendirian PT asing di negeri ini barangkali merupakan suatu keniscayaan zaman. Namun, resonansi positif yang terkandung dalam lembaga pendidikan asing itu tidak harus kita terima dengan mematikan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa ini. Karena itu, transplantasi sistem pendidikan modern dari luar negeri dapatlah kita lakukan asalkan tidak dilandasi semangat dan perilaku westoksifikasi.
Ratno Lukito Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma