Bencana dan Ikhtiar Kita
“…MEREKA adalah para penggugat, ibu dan ayah dari anak-anak Okawa, berjalan di sepanjang trotoar, berjajar tiga. Mereka mengenakan pakaian serbahitam. Beberapa di antaranya membawa foto-foto berbingkai dengan wajah putra dan putri mereka. Tiga laki-laki di barisan terdepan memegang spanduk. Pada pinggirannya tampak wajah-wajah dari 23 anak mereka yang telah tiada. Mereka difoto di rumah, di sekolah, atau bermain di luar.
Wajah mereka sedang tertawa, tersenyum, atau khidmat. Di tengah spanduk tertera kalimat dalam bahasa Jepang, karakter yang ditulis tangan dengan hati-hati menggunakan kuas tinta. Bunyinya ‘Kami melakukan apa yang guru kami katakan kepada kami’.” (Richard Lloyd Parry, The School beneath the Wave: the Unimaginable Tragedy of Japan’s Tsunami dalam The Guardian 24 Agustus 2017).
Richard Lloyd Parry memilih untuk tidak menuliskan optimisme palsu atau memperhalus tuturnya saat menggambarkan kedahsyatan tsunami yang dialami para penyintas di Sekolah Dasar Okawa, Kamaya, Tohoku, 200 mil utara Tokyo. Cerita berdasar atas kisah dan kesaksian para penyintas yang ditulisnya dalam buku nonfiksi The Ghost of the Tsunami: Death and Life in Japan’s Disaster Zone (2017), cenderung kelam dan getir, tetapi pada saat bersamaan dibarengi perasaan penuh empati yang susah dipahami.
Dari 78 murid yang berada di sekolah pada saat gempa bumi diikuti tsunami terjadi, 75 di antaranya berada dalam pengawasan guru dan hanya satu dari mereka yang selamat. Tujuh puluh empat murid dan 10 guru menjadi korban tsunami pada 11 Maret 2011. Bencana gempa bumi mengakibatkan tsunami yang juga dikenal sebagai Great East Japan Earthquake (higashi nihon daishinsai) mencapai magnitudo 9,1 tercatat sebagai gempa terbesar keempat yang pernah terjadi di muka bumi mengakibatkan lebih dari 18 ribu orang meninggal dan kerugian mencapai lebih dari US$210 miliar. Kerugian material terbesar dalam sejarah bencana di dunia.
Hanya saja, bukan horor gempa bumi dan tsunami yang telah merengut belasan ribu nyawa atau besarnya kerugian material yang membuat Parry tertarik. Ia lebih suka menggali cerita dan kesaksian personal para penyintas lalu menuturkan apa adanya tentang bencana yang menimpa sekolah dasar kecil dan wilayah Tohoku yang disebutnya sebagai ‘sebuah tempat terpencil, di pinggiran kemajuan, samar-samar melankolis, simbol tradisi pedesaan yang bagi penduduk kota tidak lebih dari sekadar kenangan masa lalu’.
Parry menulis lebih banyak tentang perjalanan hidup dan perjuangan para keluarga dari 23 murid Sekolah Dasar Okawa yang menjadi korban gempa bumi dan tsunami saat mereka berada di sekolah. Mereka mencari keadilan bagi mendiang anak-anak mereka. Orangtua ke-23 murid mengajukan tuntutan hukum kepada Pemerintah Kota Ishinomaki dan Perfektur Miyagi di Pengadilan Distrik Sendai pada 10 Maret 2014 tepat dua tahun 364 hari setelah bencana terjadi–yang juga merupakan batas akhir secara legal tuntutan hukum atas kasus ini dapat diajukan.
Mereka merasa, pemerintah yang diwakili sekolah dan para guru telah gagal memberi perlindungan bagi anak-anak. Tiadanya prosedur manual untuk menghadapi situasi tsunami yang layak, pemetaan wilayah rawan gempa dan tsunami yang salah, tiadanya pengecekan pemerintah daerah atas prosedur pengurangan risiko bencana di Sekolah Dasar Okawa, dan beberapa kesalahan prosedur evakuasi lainnya adalah beberapa hal yang dipersoalkan. Bagi Parry, para orangtua dan keluarga ke-23 murid ialah representasi mereka yang mengalami tragedi luar biasa.
Betapa tidak? Dari sekitar 18 ribu korban gempa bumi dan tsunami Tohoku, hanya 75 di antaranya ialah murid yang sedang dalam pengawasan guru mereka di sekolah. Hanya satu yang tidak berasal dari Sekolah Dasar Okawa. Para murid menjadi korban justru saat mereka menjalankan apa yang diperintahkan guru mereka. Jika upaya pengurangan risiko bencana di sekolah memang tak mampu mengatasi gempa bumi dan tsunami yang terjadi, mengapa hanya ke-74 Sekolah Dasar Okawa saja yang menjadi korban? Mengapa tidak terdengar ada korban murid dari sekolah lain di wilayah Tohoku?
Bahwa pada akhirnya tuntutan hukum para keluarga dan orangtua ke-23 murid dimenangkan pengadilan pada 26 Oktober 2016, Parry mencatatnya dengan muram, “Para orangtua murid Okawa telah memenangkan kasus mereka. Namun, anak-anak mereka tetap tak pernah lagi hadir dalam hidup mereka.”
Kurikulum sigap bencana
Kisah di atas terjadi di Jepang, negara yang selalu menjadi rujukan dunia bagi upaya pengurangan risiko bencana. Negara yang telah mensyaratkan bangunan sekolah harus menimbang aspek seismik yang terus diperbaharui setiap terjadi gempa besar sejak 1924. Bangsa yang berani menyatakan bahwa pengurangan risiko bencana ialah bagian dari DNA mereka. Tak dapat dimungkiri, Jepang ialah contoh terbaik praktik pengurangan risiko bencana. Lalu apa yang dapat dipelajari dari tragedi Sekolah Dasar Okawa?
Sangat susah dibayangkan jika peristiwa yang sama terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Sampai saat ini, bisa dipastikan, jumlah sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki rancangan pengurangan risiko bencana sangatlah sedikit. Yang lebih menyesatkan ialah cara pandang sebagian pelaku pendidikan yang masih menganggap upaya pengurangan risiko bencana merupakan persoalan yang semata berkaitan dengan beban/biaya besar, kapasitas teknologi canggih dan berkaitan dengan takdir yang tak terhindarkan.
Bukannya memandang pengurangan risiko bencana sebagai investasi yang justru berpeluang mengurangi risiko kerugian, kapasitas budaya yang harus ditumbuhkan, dilatih dan dikembangkan secara terus-menerus, serta merupakan bagian ikhtiar manusia untuk tidak mati sia-sia.
Beberapa bencana alam di 2018 dan terakhir tsunami di Selat Sunda, sekali lagi mengajarkan hal penting; kemampuan kesiapan dan daya tahan untuk menghadapi bencana alam seharusnya menjadi prioritas untuk diajarkan dan dilatihkan. Bencana alam tidak dapat ditolak, tetapi mengurangi risiko bencana sangat mungkin dilakukan.
Sekolah ialah tempat yang tepat untuk menyemainya. Karenanya, pengetahuan dan keterampilan dalam mengurangi risiko bencana harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan yang meliputi pemahaman tentang lingkungan sekitar, dampak bencana termasuk upaya-upaya pencegahan, mitigasi, memahami kerentanan, respons yang tepat dan kemampuan untuk bangkit (resiliensi).
Bahkan di Jepang yang telah menyiapkan hampir segalanya untuk menghadapi bencana, belasan ribu orang, termasuk 74 murid dan 10 guru di Okawa, harus menjadi korban kedahsyatannya. Menyisakan kesedihan yang mengiris bagi keluarga dan kehilangan yang berlanjut sampai waktu yang lama. Kenangan yang digambarkan Parry sebagai, “…tidak menyelesaikan apa pun. Seperti pukulan keras di kepala. Penyakit yang membinasakan. Rasa tertekan sekaligus komplikasi yang bercampur aduk dan membuat kecemasan dan ketegangan semakin berlipat. Seperti membuka celah menjadi retakan, dan retakan menjadi jurang yang menganga.”
Lalu bagaimana dengan kita? Beranikah berikhtiar untuk mencegah korban jatuh begitu saja? Memasukkan pengetahuan dan upaya pengurangan risiko bencana sebagai bagian kurikulum pendidikan bisa menjadi awal mula. Kurikulum Sigap Bencana bisa mewakili ikhtiar atas bencana yang nyata ada. Pilihan lainnya, kita tetap memilih diam, tak melakukan apa-apa, mengulang kebebalan dan kembali melihat banyak nyawa mati sia-sia?
Penulis: Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
Pada: Senin, 07 Jan 2019, 04:30 WIB OPINI